Cireboner - Ciremai Weekend Adventures - Ojek Wisata Cirebon - Ojek Wisata Kuningan - Souvenir Khas Cirebon - Souvenir Asli Cirebon - Ngebolang ke Cirebon
Have question?
Visits:
Today: 1All time: 1

Alam jangan dilawan - Bukit Pawuluhan

Bolanger Notes » Alam jangan dilawan - Bukit Pawuluhan

  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan
  • bukit pawuluhan
    bukit pawuluhan

Serunya awal perjalanan menuju Bukit Pawuluhan sudah aku ceritakan disini, begitupun cerita kebersamaan explore Watu Ireng pekalongan, itu kenapa kemudian catatan ini aku mulai pada saat aku tiba di sebuah wana wisata bernama Sikujang sebagai penggalan cerita yang terlewati sebelumnya.

Yup sekali lagi aku menggarisbawahi bahwa pemilik toko itupun tidak mengetahui persisnya waktu tempuh hingga sampai di Basecamp bukit pawuluhan tersebut, dengan hanya mengatakan

Pokoknya masih jauuuuuuh mas

Okeh… fine!, meski serangga sore mulai berisik dan mendung masih menggelayuti langit, aku coba meneruskan hunting bukit pawuluhan! Caiyyyooo!

Beruntung jalur masih lumayan beraspal, biarpun bopeng sana sini tapi ekselerasi bisa dinaikin dikiit, dengan tetap berharap akan aku temukan basecamp bukit pawuluhan itu sebelum malam terlanjur larut.

Masuk di area hutan pinus terlihat jalur begitu mulus mengkilat, tergoda aku untuk melepas kepenatan dengan sedikit cornering melepaskan haluan dan mengayun begitu saja, satu, dua, tiga, tikungan begitu asik aku lewati, tetapi pada tikungan ke empat, aku harus terlempar keluar dari aspal ketika berpapasan dengan rider yang melakukan cornering juga tetapi dengan haluan yang terlalu lebar, nyaris dah!

Curug Blanten

Beberapa menit kemudian, masih dijalur hutan pinus aku menemukan sebuah banner gede yang bertuliskan tentang obyek wisata air terjun, sempet berhenti untuk sekedar mengamati apakah wortit jika aku mlipir saat itu, atau besok saja saat menuju sikujang?

Sepertinya curug blanten masih tergolong baru dikelola, dari photo-photonya yang dipajang memang terlihat asyik dan menyenangkan untuk berada disekitarnya, mendengar gemericiknya, merasakan hempasan butiran lembut air tampiasnya, dan mandi seger di kolamnya sangat menggoda, tetapi belum jelasnya ending dari perjalanan ini menjadikan aku memutuskan untuk skip dulu mlipir dan lanjut gas kemudian.

Exploitasi hutan pinus

setelah 17 tikungan kemudian aku menemui sebuah kondisi horor dan memprihatinkan, ada kepulan asap di tengah bukit, dan ada banyak pohon pinus yang tumbang berserakan, dari yang sebelumnya gelap tertutup julang hutan pinus tiba-tiba menjadi terbuka karena tak lagi ada pohon pinus yang berdiri kokoh disana, yup ekploitasi alam dengan penebangan pohon pinus itu terlihat brutal dan siapapun akan bisa memahami bahwa itu bukan tindakan yang bisa dibenarkan.

Bukit dengan kemiringan terjal itu sebelumnya kuat dicengkeram oleh akar-akar pinus yang sudah tumbuh puluhan tahun, dan dengan kondisi sekarang, jika tanpa ada regenerasi atau reboisasi maka akar-akar yang mencengkeram tanah bukit perlahan akan mati, kering dan hilang kekuatannya, maka pada saat itu potensi longsor menjadi sangat nyata, jalur satu-satunya akan hilang dan penduduk terisolir dalam waktu yang lama.

Semoga yang aku liat saat itu, adalah sebuah usaha untuk meregenerasi pohon pinus dengan pohon-pohon gede lainnya yang akan menjaga keseimbangan alam sekitarnya, karena ditikungan sebelumnya aku juga sempet melihat sebuah banner besar dibentangkan oleh salah satu sekolah menengah atas setempat yang bertulisakan “ save tree, jangan tebang pohon pinus, dan kalimat lain yang mengkampanyekan perlindungan hutan pinus.

Watu Ireng

7 menit dari lokasi bukit yang sakit itu aku melihat sebuah tulisan besar berwarna merah terpajang dipuncak sebuah bukit kejauhan sana, bertuliskan Watu Ireng

Cukup menarik dan pasti akan menjadikan kepo bagi siapa saja yang baru pertama kali melintasi jalur tersebut, segitu gede tulisanya hingga mengesankan bahwa ada sesuatu yang luar biasa bisa kita temui disana.

Keinginan mlipir lagi-lagi tertunda karena destinasi akhir tujuan masih belum terprediksi kapan kutemui, aku coba tandai titik mlipir ke watu ireng agar ntar balik dari bukit pawuluhan bisa aku sempetin cari tau apa sebenarnya watu ireng itu.

Perjalanan lanjut hingga terus nanjak mengejar kabut, ada sedikit ragu apakah perjalanan ini akan berakhir seperti harapan, karena jalur kemudian berubah menjadi ekstreem dimana mungkin bertahun lalu jalur itu masih berupa beton yang smooth berkelok naik turun bukit, tetapi kini tinggal tulang-tulang besi yang secara jelas terlihat mengerikan.

Yup rangka besi sebagai penguat jalur beton udah banyak yang seutuhnya terlihat mengancam empuknya karet ban, sekali aja salah lintas, maka tajamnya besi cor akan dengan mudah menembus ban, dan kamu harus mendorong motormu lebih dari 1 jam naik turun untuk menemukan rumah penduduk, inget rumah penduduk bukan bengkel tambal ban!.

Ngeri jika membayangkan kemungkinan apes itu, tetapi aku sengaja cuek, karena biasanya jika aku parno dan mikir berlebih, maka apa yang aku takutkan akan menjadi nyata, biasanyaaaa sih

Jadi ya biarpun gigi 1 terus selama tanjakan, turunan, dan mendatar plus bantuan dua kaki untuk melintasinya, maka show must go on, lanjuuut hingga ketemu yang namanya basecamp bukit Pawuluhan, yup harus ketemu, rugi udah jauh2 sendirian kalo gak ketemu, gengsi juga sama group kalo balik kuciong dan zonk! Hahahaha ego itu perlu ternyata

Hamparan bukit bunga

Ada moment menyenangkan yang mengobati capeknya meniti jalur berbesi itu, yalah ketika aku menemukan sebuah hamparan bukit yang tertutupi oleh bunga, memang bunga itu bukan jenis bunga yang biasa dijadikan tanaman hias halaman ataupun tempat wisata, akan tetapi apapun itu jika berkumpul ribuan bunga dalam satu warna, pasti akan menjadikan pemandangan tersebut luar biasa dan mengesankan.

Aku sempet berhenti dan mendokumentasikannya dg video, tetapi kemudian aku ketahui bahwa dokumentasi pada perjalanan tersebut banyak yang hilang, karena sistem storage dari action cam yang aku pake, berlaku replacement dimana jika storage full maka otomatis record terbaru akan menghapus record paling lama. Dan durasi record aku udah sangat over quota banget!.

Wokeh hamparan bukit bunga biarlah jadi kenangan aku sendiri saja, karena tidak bisa aku bagi visualnya disini, tetapi yang pasti jika kamu punya iseng yang kuat maka kamu bisa menemukan bukit bunga itu dijalur menuju Pawuluhan.

Perjalanan aku lanjutkan dengan mulai menyibak kabut, samar-samar terlihat kelokan jalur putih yang ontras dengan warna hijau sekitarnya, yup aku menemukan jalur yang terlihat baru berkelok menuruni sebuah bukit, aku ikuti terus hingga ketemu sebuah kampung.

Kampung biasa dengan kehidupan ala kampungnya yang damai dan ramah, siapapun yang kamu temui pasti akan terjadi interaksi meski sebatas anguk’an, senyum, dan saling sapa permisiii, yang menjadi menarik adalah ketika aku temukan ada banyak mobil yang dimiliki oleh orang2 kampung situ, apakah ada jalur lain yang lebih manusiawi menuju kampung tersebut, atau cuman jalur biadab ini satu-satunya jalur?

Menyerah

Baru kali ini aku selama aku mengendarai vega mejikjer berasa terlalu berat perjuangannya, dari jarak tempuh sih masih kalah dengan event lainnya, tetapi kali ini dengan kesendirian aku mengalami yang namanya menyerah, dan stop sebelum destinasi tujuan tercapai.

Ada banyak faktor yang kemudian menjadikan nyaliku menciut, selain medan jalur yang luar biasa, kabut pekat yang memungkinkan jarak pandang kurang dari 7 meter, juga hujan, dan gelap malam yang mulai menjelang, untukk urusan stamina dan kondisi fisik masih 77% hayuk!.

Yup saat itu aku harus ketemu dengan jalur nanjak yang tidak biasa, aku menggambarkannya seperti jalur itu di gelontorin batu-batu dari atas truk dan dibiarkan berserak begitu saja, artinya bebatuan itu tidak solid, tidak menancap ditanah, cenderung bergerak ketika terlintas oleh roda, mentok ke mesin, pelek roda, dan cover. Ebuseh beberapa kali sepatuku harus membenturnya gak sengaja, sakitnya tuh disini broh.

27 menit berjuang di jalur reruntuhan batu itu sangat menguras energi, hingga ketika terbebas darinya aku baru sadar bahwa malam sudah terlalu gelap, hujan belum reda dan kabut masih pekat menutupi pandangan, Lampu motor tak lagi bisa menembusnya.

Aku berhenti dan memandangi sekitar, begitu sepi, begitu berasa sendiri, aku masih bisa melihat ada kabel listrik yang terpasang menuju keatas sana, artinya aku yakin masih ada rumah yang berada di entah disana, yup dititik ini aku menyerah untuk tetap lanjut.

Aku tinggalkan motor untuk sekedar cek jalur didepan, sekaligus mencoba peruntungan untuk menemukan rumah warga yang bisa aku tebengin menginap malam itu, dengan berjalan kaki aku terus coba ikuti terus keatas, tapi semakin aku jauh naik, jalur semakin berantakan, jarakpandang semakin pendek, nyaris merasa buta, semakin kecil harapanku menemukan gardu ronda, atau masjid, atau gubuk apapun yang bisa aku jadikan tempat bermalam saat itu.

Sempet aku berfikir untuk buka tenda di tepi jalan itu, toh paling gak akan ada yang lewat situ juga sampai besok, karena untuk balik turun mencari kampung terdekat rasanya kok menyia-nyiakan perjuangan sebelumnya melewati jalur reruntuhan batu itu, dan jika ternyata besoknya harus kembali melewati jalur itu… alamaaak?

Saat itu aku tidak tau dimana basecamp bukit Pawuluhan tersebut, seberapa lama lagi hingga ketemu tulisan besar atau petunjuk arah, “selamat datang di obyek wisata bukit Pawuluhan” atau semacamnya, tapi yang pasti aku sudah terlalu capek dan sangat berbahaya jika memaksakan lanjut, yup aku harus istirahat.

Tidak ada tertulis di peta yang aku bawa, sedang GPS juga tidak menemukan satelit dilokasi itu, opsi terakhir GPS (gunakan penduduk setempat) juga sudah tidak ada harapan lagi, secara di kebiasaan orang kampung, terlebih hujan, tidak ada satupun yang kongkow di teras, ataupun keluar rumah malam hari, jadi kalaupun aku temui sebuah rumah, ya harus ketok pintu terlebih dahulu.

Sejenak aku coba rileks dengan minum air mineral, dan sepotong roti, tentu dengan campuran air hujan yang tak bisa aku halau.

Aku putuskan kemudian untuk balik turun lagi mencari tempat bermalam di kampung terakhir, meski artinya aku harus berjibaku dengan reruntuhan batu, karena setidaknya aku bisa tidur dan istirahat, beski tidak best rest, tapi refresh lah.

Itupun tidak menjadi mudah, karena justru ketika pedal rem di injak jadi mentok dan berbenturan dg batu-batu, dan itupun roda meluncur slip, seraba salah, karena jika dilepas maka beban motor akan membawaku merosot kebawah, break engine tidak berarti sama sekali, dan hanya tumpuan kaki yang bisa mengendalikannya, lebih tepatnya aku tuntun vega itu bukan aku kendarai, hahaha demi melepas ketegangan itu, sengaja aku teriak-teriak mencaci maki setiap batu yang membentur mata kakiku, tapi kadang juga aku tertawa sendiri sekerasnya …hahaha toh gak ada yg denger ini…

Singkat cerita aku lepas dari ketegangan itu dan menemukan sebuah masjid di sebuah kampung, dan kita tau bahwa masjid dikampung tidak pake pagar tinggi yang terkunci, tidak ada teralis y ang membatasi akses, selalu terbuka bagi siapa saja, aman dan nyaman, aku parkir dihalamannya, keril aku lempar keteras masjid, lalu aku rebah meski basah.

Aku lepas atribut biker keseluruhan, karena aku yakinkan bahwa perjalanan aku lanjut esok hari, kini tingal bagaimana menyusun kalimat agar boleh diizinkan menginap di masjid malam itu oleh pemangku masjidnya.

aku bisa merasakan betapa khidmat bersujud dilantai kasar masjid itu, berasa damai dan tidak ada kegalauan sama sekali, semua terasa plong! Lepas tanpa beban sama sekali, mungkin ini yang tidak bisa kita temui jika kita berada di keramaian kota, semegah apapun masjidnya nuansa ini pasti sulit dirasakan.

Kemudian aku ngobrol dengan seorang kakek yang terlihat begitu mencintai masjid, begitu nyaman berdzikir dan khusuk bercengkarama denan nuansa relijiusnya.

Pertanyaan standard membuka obrolan kami, siapa, darimana, dan lanjut bagiku kemudian mengutarakan niat ijin menginap dimasjid itu, ijin menginap sudah OK, tetapi begitu pada pertanyaan

emang sebenarnya njenengan ini mau kemana tujuannya to le? “

“ mau ke bukit Pawuluhan mbah, itu masih jauh kah darisini ?”

“ Pawuluhan sini ini? “ tanya si mbah sambil menunjuk arah belakang masjid

“ loh bukit pawuluhan deket sini to mbah? “ respon gw kaget, kalo ternyata gw akhirnya tau bahwa Pawuluhan udah terlewat lumayan jauh

“ iya nak, bukit pawuluhan mah deket sini ini le, lewatnya sana dari rumah mbah narto “

“ ohya? “ tiba-tiba semangat tumbuh berlebih kembali

“ iya paling 17 menit njenengan balik kesono, ntar ada sekolahan SD nah sebelum SD itu ada jalan, disitu persis rumahnya yang buat nitipin motor, kalo malam minggu gini biasanya ada yang ngePAM disana” jelas si mbah panjang

oooh ada tulisan petunjuk arahnya ya mbah?

ada nak, biasanya banyak yang pada ke pawuluhan kalo libur gini “

“ oooh ya udah mbah saya kesitu saja kalau begitu..”

“ gak jadi nginep disini?

“ gak jadi deh mbah, boleh kan?”

“ iya gapapa, hati-hati aja ya le

Wew betapa girang dan bersyukurnya demi tau bahwa destinasi tujuan aku bahkan sudah terlewat, artinya aku gak harus menunggu sampai besok untuk explore bukit pawuluhan, aku segera berkemas dan pamit pada simbah untuk kemudian cusss menuju basecamp!.

Dan 17 menit yang simbah tunjukin itu ternyata 37 menit aku jalani, yup selalu begitu yang terjadi, tuan rumah selalu mempunyai jarak tempuh lebih cepat ketimbang orang asing, jalur turuuun lalu nanjaaaak, lalu sampai di sekalahan SD.

Tapi sangat jauh dari perkiraan aku, dimana yang namanya basecamp sebuah wisata alam, terlebih bukit tentu ada petunjuk arah atau tulisan gede yang menunjukkan bahwa disitulah jalur menuju sebuah tempat wisata, dan itu tidak ada sama sekali!, ada juga penitipan motor yang disana tertulis tarif parkir, atau kode tulisan yang menunjukkan bahwa disitulah tempat nitip motor bagi para pengunjung, dan itu tidak ada sama sekali, yang ada hanya sebuah garasi depan rumah, yang disana ada tempat cuci mobil, doang, selebihnya hanyalah rumah biasa.

Tidak ada pondokan, atau gubuk yang layak disebut basecamp atau tempat pendaftaran bagi pengunjung, tidak ada tempat lesehan atau ruang buat istirahat bagi pengunjung sepulang dari bukit, pure sebuah rumah warga biasa.

Ketika aku sampai dirumah itu, tidak ada terlihat siapapun diluar rumah, sepi dan banget, aku berhenti dan mencoba menemukan siapapun yang bisa aku tanya saat itu.

Cukup lama kemudian aku menunggu, hingga ada seorang remaja yang terlihat keluar rumah, tak mau menyiakan kesempatan, segera aku hampiri dan aku tanya2.

Ya memang disitu mas tempatnya nitip motor”

“ kok sepi yah?” emang hari ini gak ada yang naik ke bukit kah? “

“ wah kurang tau yah, tapi sepertinya gak ada mas, sejak musim hujan ini kayaknya gak ada yang naek”

Waduh… perasaan aku mulai gak enak nih

tapi aman ya mas kalo saya kesono sendirian?”

“ yaa aman sih, kalo binatang buas sih paling celeng, atau monyet saja mas”

“ oooh kalo yang mistis-mistis gitu ada gak mas ceritanya?” tanyaku semakin grogi

“ ooh kalo itu sih mas ntar nanya ke mbah Narto ajah, mari saya antarkan kesitu

Dan kemudian akupun dipersilahkan masuk oleh mbah Narto, disuruh duduk dan kemudian keril, helm, dan lainnya disuruh bawa masuk, waduh padahal kan pengennya langsung cus naek ke bukit malam itu..

“ udaah besok pagi ajah le… “ begitu kalimat serem yang kemudian aku dengar dari mbah Narto

Aku gak berani untuk bertanya-tanya lagi mengenai kenapa dan apa alasan yang tidak memperbolehkan aku langsung cuss sendirian menuju bukit malam itu, manut mawon dah..

Tak lama kemudian secangkir kopi item dateng, ditambah dengan gorengan, lalu sepaket bahan rokok tingwe alias ngelinting dewe tersaji dengan sempurna di meja itu, ada tempakau press ala purbalingga, kemenyan madu dan cengkeh yang keduanya cap 555 made in magelang, juga klembak dan kertas rokok yang berasa manis salah satu ujung lembarnya… yiihaaa sungguh berasa kembali ke masa kecil di kampung magelang sono…

Obrolan pun kemudian berlangsung seru, ramah dan so comfort, itu yang menjadi salah satu kerinduanku pada suasana kampungan, pada life style kampungan, yang begitu welcome dan easy going, banyak cerita kemudian kami obrolkan bersama, banyak hal mengejutkan ternyata ada di obrolan tersebut, sehingga sedikit banyak aku bisa mulai paham kenapa aku tidak boleh mendaki bukit saat itu sendirian.

Sebuah ruang kamar keumudian disediakan untuk aku, dan dengan sangat nyaman kemudian aku beranjak tidur setelah mbah Narto pamit menuju sebuah acara di kampung sebelah.

Tidurku tak terlalu nyenyak, karena banyak pertanyaan yang belum terjawab, karena menunggu pagi untuk memulai mendaki, juga karena kemudian sebuah irama gamelan jawa dengan lantang menghiasi malam hingga dinihari.

Larut malam dan irama gamelan jawa sungguh sebuah harmoni yang luar biasa, nuansa gotik dan relijius bersimfoni dengan sempurna, menjadikan tidurku antara ada dan tiada.

Pendakian dinihari

Jam 14 lebih 7 menit aku kemudian bangun karena jam segitulah yang disarankan si embah buat mulai pendakian, agar dapet sunrise dari balik sikembar sindoro dan sumbing, tetapi kemudian ragu karena tak ada tanda-tanda simbah bangun, gimana mau pamitan kalo yg tuan rumah blm bangun?

Sampai kemudian aku berjamaah subuh disebuah masjid deket situ, subhanalloh sungguh berasa nyaman berada diantara para sesepuh kampung yang sedang berdzikir, logat dan senandungnya membawaku pada kampung aku, pada kedua orang tuaku dan segala sesuatu yang behubungan dengan mas kecil aku di kampung pelosok gunung.

Lalu pagi itu aku mulai menapaki jalur terasiring persawahan sebelum kemudian masuk di perkebunan dan kemudian hutan tropis, satu-satunya petunjuk yang aku inget adalah “ buk enem” alias jembatan nomor enam yang disana ada sebuah sempalan jalur menuju puncak bukit.

Udara begitu sejuk dan semangat terbarukan, meski peluh mulai membasahi tubuh, tapi satu demi satu tanjakan bisa kulalui dari buk siji sampai buk enem.

Sekitar 17 meter dari jembatan nomor enam itu, memang ada jalur setapak yang langsung nanjak banget meuju puncak bukit, tapi berasa ragu untuk melewatinya karena apakah memang ini jalurnya? Kok tidak seperti jalur yang biasa dipakai oleh pengunjung untuk mendaki, tertutup rumput dan sama sekali jauh dari perkiraan jalur wisata.

Tapi akhirnya aku jalani juga, perlahan naik dan view kampung dikejauhan bawah sana sudah sedemikian indahnya, sepertinya pagi itu akan cerah dan sukses capture sunrise dari balik gunung kembar.

Aku percepat langkah agar cepat sampai puncaknya, hutan pinus, jati dan kemudian… kabut tiba-tiba menyelimuti bukit, tidak ada yang bisa dilihat kecuali putih dan putih… tapi aku terus berjalan karena jarak pandang masih memungkinkan untuk sedikit demi sedikit melangkah.

97 menit kemudian aku temui sebuah puncak bukit yang sangat jepretable, selfiable, dan capturable, aku mencoba naek, dan meski cuman beberapa detik aku bisa menemukan view yang lepas kemana-mana, sebelum kemudian kabut menutupnya kembali.

Ada beberapa puncak bukit yang harus aku pastikan bahwa itu puncak tertinggi bukit Pawuluhan yang sempet greget itu, artinya aku harus jalan menembus kabut dan menemukannya, untuk kemudian aku bisa duduk santai buka tenda dan menikmati kopi hangat, dan mie instant yang pasti luar biasa nampol sensasi rasanya.

Satu demi satu puncak bukit aku capai, tapi belum satupun yang menunjukkan bahwa disitu bekas orang-orang camping, oh berarti masih puncak yang lainnya.

Hingga kemudian aku temukan shelter itu, berada seperti anjungan dan luasnya bisa menampung belasan tenda dome, tapi saat itu, kabut begitu pekat dan lensa kamera menjadi lembab, embun kemudian menggagalkan segala aktivitas photografiku disitu.

Yang aku bisa lakukan kemudian hanyalah duduk dan menikmati kabut, itu saja, roti dan kopi kemudian menjadi teman ngobrol yang garing, yup kesendirian memang sempurna jika di ketinggian sunyi.

aku menunggu angin yang menyibak kabut, aku menunggu mentari menembus awan, agar pandangan ini liar dan dimanjakan, tapi 2 jam lebih 7 menit kemudian keadaan masih sama, berselimut kabut, sunyi, dan sendiri.

Lalu aku putuskan kembali turun.

Sesampainya di rumah mbak Narto, sebaki hidangan pagi sudah menanti, aku terharu dengan ketulusan mereka, tanpa pamrih mereka menyambut seseorang asing yang bahkan bukan siapa-siapa mereka, begitu nikmat masakan ala kampung yang serba organik itu, disempurnakan dengan teh tubruk yang joss maknyoss!

Setelah semua keramahan dan kehangatan ala mbah Narto itu semakin membebani hutang budi, maka aku pamit kembali menuju sikujang dimana aku dan teman2 motor dari kota pekalongan deal untuk ketemu.

Seberat apapun medan jalur yang kulewati kini sudah berbeda, berasa easy going dan smooth, berbeda dengan saat aku berangkat kemaren sore.

Target destinasi pagi itu adalah watu ireng, lalu curug Blanten, dan endingnya di Sikujang, dimana curuk Bekakak berada.

Dan serunya petualangan hari kedua pun dimulai disini

berkunjunglah ke bukit Pawuluhan

Facebook
PRchecker.info