Cireboner - Ciremai Weekend Adventures - Ojek Wisata Cirebon - Ojek Wisata Kuningan - Souvenir Khas Cirebon - Souvenir Asli Cirebon - Ngebolang ke Cirebon
Have question?
Visits:
Today: 1All time: 1

Pesona Gothic jalur Jatinegara

Bolanger Notes » Pesona Gothic jalur Jatinegara

 

Hahaaaa judulnya gak banget yee? tapi biarkan seperti itu aja karena mungkin akan jadi sense tersendiri jika kemudian cerita ini menginspirasi untuk explore view keren di jalur hijau itu.

Ok kita mulai catatan ini dari hari jum’at yang aku pilih sebagai hari balik nasional Antar Kota Antar Propinsi dengan pertimbangan bahwa puncak arus balik 2016 belum klimaks dan rute yang aku ambil jalur hijau dengan tantangan kompromi pada alam jika terjadi kendala selama perjalanan, selain itu pertimbangan lainnya adalah adanya spare waktu istirahat sehari sebelum balik ke rutinitas nguli mengais rupiah demi sepiring berlian dan segelas bacardi.

Jalur alternati:P

Jalur pilihan aku awalnya adalah jalur antimainstream seperti biasanya yang tak jauh dari lebatnya hutan, tingginya tanjakan, kelokan tajam, dan ramahnya pribumi yang dilewati, tepatnya Magelang – Wonosobo – Banjarnegara – Purbalingga – Bobotsari – Belik – Randudongkal – alas Capas – Slawi – Tegal – Brebes – Cirebon, rute ini aku pilih karena selain outdoor style tersebut, juga karena menghindari keramaian atau bahkan kemacetan yang pasti akan terjadi di jalur primer lainnya seperti jalur selatan atau utara.

namun situasi dan kondisi akhirnya memastikan bahwa aku harus melewati episode kemacetan sekali lagi selama melintasi jalur selatan, tepatnya se[panjang Purworejo, Kebumen, hingga paling parahnya di ringroad Sumpiuh, karena sekalian nganter sodara yang juga balik pada hari yang sama via keretadi stasiun Kutoarjo, maka rute dirubah menjadi via jalur selatan, Magelang- Purworejo – Kutoarjo – Kebumen – Buntu – Banyumas – Klampok – purbalingga –Bobotsari – Belik – Randudongkal – alas capas – Slawi – Tegal – Brebes – Cirebon.

Tak heran memang jika akhirnya meski spare waktu sudah lebih dari dua jam, tetapi perjalanan dari Ujung Purworejo hingga stasiun Kutoarjo masih saja telat, dan tragis ....telatnya cuman 10 menit dari jam keberangkatan kereta!, padahal pada hari biasa durasi yang dibutuhkan untuk sampai di Kutoarjo dari Rumah hanya 1 jam!.

Ketinggalan kereta atau pesawat merupakan pengalaman menyebalkan bagi semua orang, terlebih jika selisih waktunya hanya sebentar dan masih dikisaran 10menitan, maka effort seru selanjutnya adalah hunting tiket darurat demi lanjutnya perjalanan dan pantang untuk balik pulang, setidaknya keseruan itulah yang dialami sodara aku saat itu di stasiun Kutaoarjo, hingga akhirnya bisa kembali terangkut kereta menuju ibu kota.

Sedangkan aku, baru akan mulai next level petualangan dari sebuah kemacetan panjang jalur kebumen – Buntu,

Parahnya macet di ringroad Sumpiuh menempatkan aku pada dinihari di Purbalingga, tepatnya di jalur yang mengarah ke Bobotsari, disalah satu sudut kota itu, tepatnya sebelum bundaran tugu knalpot, aku sempatin untuk rehat dan menikmati mendoan panas plus segelas susu jahe, hmmmm yu know that feel ? hahahah maknyus berlebihan bray...

Secara arah posisi aku yang menuju Klampok dari Banyumas untuk kemudian naik menuju Purbalingga adalah balik arah 180 derajat, tetapi untuk berspekulasi ambil jalur Sokaraja cukup riskan, secara salah satu sisi kota itu merupakan titik macet yang selalu ditandai pada lembaran peta mudik setiap tahunnya, dan itu lebih baik, memperpanjang jarak tapi bisa smooth bergerak, ketimbang jarak pendek tapi waktu tempuh sama lamanya, plus tingkat stress yang lebih tinggi.

Kelok jalur bobotsari

Nah jalur Bobotsari menuju kecamatan Belik, adalah jalur yang pada setiap peta mudik ditandai dengan icon yang berarti rawan kecelakaan!, dan dominasi penyebab kecelakaan itu adalah jalurnya yang berkelok ekstreem dengan kemiringan yang hanya gigi terendah bisa bertahan disana hingga ketinggian puncaknya yang lebih dari 1000mdpl.

Beruntung mungkin ketika aku lewati jalur tersebut hanya ada sekitar 5-8 kendaraan lain yang baik itu papasan maupun searah, selebihnya sepi, gelap, menanjak dan terus menanjak hingga desa Beluk kecamatan Belik dimana puncak 1000mdpl bisa kita dapatkan.

Dari Desa Beluk menuju Randudongkal jalur dikombinasi dengan tanjakan yang melewati kampung-kampung dan hutan namun begitu karena jam sudah dinihari maka kemudian sama sekali aku tidak ketemu dengan kendaraan lain selain sebuah mobil avanza hitam yang sangat mencurigakan.

Aku pelan dia pelan aku kenceng diapun kenceng, sangat berasa bahwa mobil tersebut sengaja mengikutiku, maka tak heran jika kemudian sebuah kecurigaan yang mixing dengan ketakutan perlahan tumbuh, bayangan ekstreem bahwa dimobil tersebut adalah sekawanan perampok kemudian menguasai nyali, maka kantuk pun hilang yang ada tinggal kewaspadaan penuh dan kesiapan mengambil resiko terburuk dengan saling bentur dan dorong keluar jalur.

Ada kesempatan disebuah pemukiman aku mencoba untuk meminggirkan kendaraan dan memberi sinyal silahkan lewat, dan huft ternyata mereka juga traveler yang sama, dengan plat kendaraan yang jauh lebih kebarat ketimbang E yang aku punya, maka pastinya demi melihat E yang blusukan dengan jalur yang sama sudah pasti drivernya akan mencari tebengan penunjuk jalur, secara asumsi plat E akan lebih menguasai jalur Purbalingga – tegal, ketimbang plat yang lebih jauh, ahhh legaaaa

Gotic nya jalur jatinegara

Nah serunya perjalanan itupun kemudian naik level ketika jalur Randudongkal – Slawi akan dimulai, disana ada Alas Capas atau Jatinegara yang merupakan hutan Jati yang lebat dan sangat gelap, berkelok tajam turun naik dengan jalur yang sempit dan tanpa garis putih ataupun rambu satupun.

Kami benar-benar sendirian berada di sunyi seremnya hutan jati pada dinihari itu, tercatat jam 02 kami mulai melintas diantara julang gede pohon jati sepanjang 2 jam perjalanan, tak ada kompromi lagi selain diam menunggu siang dan berharap ada yang lewat jika terjadi kendala yang mengharuskan kendaraan aku berhenti dan tak bisa jalan lagi, tapi untungnya hal buruk itu tidak kami alami, thanks God!

Kontroversi mbah-mbah

Klimaks dari serunya melintasi hutan jati itu adalah ketika pada sebuah tikungan menurun kami melihat ada sesosok orang laki-laki yang berpenampilan kusut seperti orang gila terabaikan, sedang berjalan menuju arah yang sama di sisi kanan jalan, lalu beberapa detik kemudian ada lagi terlihat sesosok perempuan kusut juga sedang berteriak-teriak disisi kiri jalan dan menatap pada kami, dititik itu aku sadar bahwa ada hal diluar kewajaran sedang terjadi ditempat itu, oleh karenanya aku mencoba untuk bertanya pada soulmate dibelakang aku.. “ kamu kelihatan kah? “ dan ia menjawab “ iya aku kelihatan “ lalu beberapa detik kemudian ketika jalur mulai nanjak dan menikung, beruntun beberapa sosok tua bermunculan disisi kiri dan kanan jalan..

kamu masih kelihatan kan? “ tanyaku kembali setiap sosok baru muncul

Kali ini tidak ada jawaban dari belakangku, dan ketika aku coba liat ternyata doi tertunduk sambil membaca ayat2 suci, dengan nada lirih yang padanya berasa getaran ketakutan yang sangat... yup hanya aku sendirian akhirnya yang mau gak mau menikmati pemandangan dimana sosok-sosok renta banyak bermunculan dikedua sisi jalur yang aku lewati.

Ada saat dimana akupun yang semula sangat kontrol dan menguasai keadaan tiba-tiba menjadi takut dan merinding untuk beberapa detik, hampir down! Dan itu sangat beresiko karena jalur yang berliku, sempit dan sudah mulai turun menukik.

Yup secara logika jika memang benar itu adalah sosok manusia, maka pertanyaan kontroversi akan muncul, mau kemana mereka ? sedang didepan tidak ada pemukiman ataupun sesuatu yang layak untuk didatengin secara rombongan, jelas tempat itu berada di tengah hutan jati.

Jika itu manusia, maka pertanyaan lain yang muncul adalah siapa yang mengkoordinir mereka para orang tua untuk long march bareng jam 2 dinihari ditengah hutan, dengan dress code sama compang-camping?

Ahsudahlah... toh mereka tidak marah dan mengganggu ketika deru sikutu berisik mengusik istirahat mereka.

Dan sejak perjumpaan itu hingga akhirnya ketemu dengan pemukiman yang menandakan bahwa kawasan hutan jati sudah terlewati, praktis aku sendirian melototi jalur, tanpa obrolan lagi dan tanpa kantuk lagi.

Begitu sampai di Slawi, kantuk sudah sedemikian parah, tanpa kompromi lagi begitu tiba di area terminal Slawi aku berhenti dan sempatin untuk makan! Hahaha

Dari situ perjalanan hingga sampai diCirebon berasa biasa saja, yang kamu temui di pantura kurang lebih sama setiap harinya, dan begitu hingga jam 7 pagi kemudian kami sampai disarang mimpi, home sweet home, tempat dimana kasur adalah bagian yang paling kami rindukan.

Ahaa keseruan cerita mudikpun berakhir, dan jalur alas capas jatinegara selalu menarik untuk dilintasi kembali.

Ayoo turing ke alas capas!

Facebook
PRchecker.info