Burangrang - Aigoooo licin banyak naik-naik banyak
Bolanger Notes » Burangrang - Aigoooo licin banyak naik-naik banyak
Ternyata hanya butuh waktu satu minggu untuk kemudian otot dengkul ini harus kembali tegang dijalur pendakian.
Kali ini dari pilihan yang ada, aku ambil Puncak Burangrang sebagai pilihan menjumpai mentari pagi dan jalur pendakian gunung burangrang Legok Haji pun menjadi pilihan selanjutnya.
Dengan ketinggian kurang dari 2500 maka aku rasa akan mejadi pilihan yang lebih baik ketimbang Ciremai via Palutungan dihari yang sama dan sama-sama night hiking.
Brangkaat lay
Dan sepulang gawe jum’at itu 14/10/2016 aku sudah tinggal melengkapi kebutuhan yang belum selesai aku siapin kamis sorenya, keril 60 liter plus sudah terpilih, logistic, dan sajen special juga sudah bersemayam dengan tenang didalam kerilku, aku siaap!
Jam 20:00 tercatat kami meluncur dari Cirebon menuju Cimahi malam itu, yup kami adalah aku, driver, dan seorang expatriate Korea yang lagi gila mendaki gunung, dengan fasilitas toll baru, setidaknya estimasi kami bias sampai di basecamp gunung Burangrang sekitar jam 24-an atau paling telatnya yah jam 1 an dini hari, dan itu acceptable karena durasi pendakian gunung Burangrang rata-rata adalah 4 sampai 4:30 jam jika via legok haji, sehingga kemungkinan dapetin sunrise masih cukup besar.
Nyasarilicious di Lembang
Memang aku pernah muncakin gunung Burangrang sebelumnya, bertahun lalu, tapi transport dan rute yang kami tempuh saat itu sangatlah berbeda dengan kali ini, sehingga lupa-lupa inget pun menjadi cerita dan perdebatan seru tersendiri selama perjalanan, manakala kemudian kami harus berputar balik arah sampai 4 kali karena kesasar dan salah jalur wkwkwkw ya gini ih kalo biker naek mobil wkwkwwk
Duluuu yang jalur di desa terakhir itu masih berbatu dan liar, kini sudah lebih baik lagi dengan di beton memanjang hingga pertigaan tanah mati yang merupakan titik awal pendakian gunung Burangrang, meski tetep masih sempit dan tidak memungkinkan untuk berpapasan dengan mobil laen.
Feeling lucky malam itu kami tidak berpapasan dengan mobil lain…
Kami perlahan dengan kebimbangan menyusuri jalan desa, dan berasa lega akhirnya ketika kami menjumpai papan rumah bertuliskan KETUA RW! – yup rumah ketua RW adalah basecamp dimana perijinan untuk pendakian gunung Burangrang via legok haji dilakukan.
Aku ketuk pintunya dengan perasaan bersalah karena pastinya mengganggu tidur dan istirahatnya pak RW, dan begitu pak RW mempersilahkan kami masuk, maka aku berusaha secepat mungkin untuk beresin semuanya, sehingga aku dan pak Cheong segera memulai trekking.
Tercatat jam 24:10 kami mulai pamit pak RW untuk memulai langkah pertama, dengan melewati sunyinya khas pedesaan yang riuh dengan gemericik air dan binatang malam, plus lolongan anjing tentunya, kemudian kami tiba di sempalan jalan yang disana ada petunjuk arah “Puncak Burangrang”, yup jalan setapak kemudian kami mulai
The Death land
Adalah poin area yang kami lewati sebelum sampai di legok haji dan pintu rimba, dimana death land adalah lahan pemakaman atau kuburan yang dalam bahasa penduduknya disebut tanah mati, alias tanah dimana orang mati dikuburkan.
Dengan memakai bahasa death land plus embel-embel “ banyak orang mati disini, kita harus diam dan hati-hati “ cukup memberikan sensasi tersendiri bagi si Korean yang kemudian dia membayangkan keangkeran layaknya film film horror wkwkwkwk bahkan disana si expat sampai harus kencing segala, ternyata orang Korea punya takut juga hihihi.
Selepas dari the death land, kemudian kami jumpai semak yang begitu lebatnya menutupi jalur, beruntung tidak begitu jauh, sehingga kemudian kami sampai di sebuah area terbuka dengan beberapa pohon pinus padanya, yup Legok Haji! Adalah sebuah camp shelter yang secara estimasi bias menampung 50an tenda dome, ketika ada event camping atau jamboree.
Kami melewatkannya karena kemudian kami memasuki rimba sebenarnya.
Langkah pertama memasuki rimba, disambut dengan tanjakan yang lumayan terjal dan licin, dan awal perjuangan malam itu ditandai dengan terpelesetnya tandem aku hingga terduduk.. aaaarhhh aigooo!!
Yup meski sudah dengan alat bantu trekking pole, tapi licinnya jalur menjadi lawan yang tangguh bagi sekedar dua tongkat, karena bahkan tongkat akan lebih merepotkan dibanding dengan cukup satu, sehingga tangan satunya bisa berpegangan pada akar dan rumput, sedang jalur tanah Burangrang malam itu memang benar-benar greget!.
Setengah jam kemudian ada kalimat yang baru pertama aku dengar dari tandem aku tersebut, yaitu permintaan untuk stop dan istirahat sebentar, ditambah dengan ekpresi, dan komentar “ aa jalur ini naek banyak, cepat capek, licin banyak, aigoooh”
Dan kemudian sunyi untuk beberapa saat, yang terdengar hanya nafas kami sendiri hahahahaha
Ada sayup-sayup terdengar sebuah percakapan di kejauhan atas sana, dan ketika aku coba memastikan, maka… yup
“ kita ada teman didepan sana pak Cong “
“ oh iya saya dengar, orang banyak-banyak disana ya “
Dan benar, ketika kami kemudian bertemu, mereka sedang tepar beristirahat, ada sekitar 6 orang dengan badan tegap dan gede, salah satu dari mereka dipanggil dengan “Ndan!” nahlo!
Kita kenalan dan ngobrol lumayan lama, mereka welcome dan friendly, tapi karena tandem saya udah gak sabar sampai puncak, terpaksa obrolan itu kami tunda sampai nanti ketika ketemu dipuncak.
Mereka kami tinggalkan, dan kembali kami berdua engap berjibaku dengan licinnya tanjakan, licinnya akar, dan duri-duri yang gede dari semak disepanjang jalur, yup Gunung Burangrang terkenal dengan tanaman berduri seperti pohon salak versi jumbonya, so hati-hati dengan langkah dan peganganmu, karena cover bag sangat mungkin tersangkut dan sobek, topi, dan juga tangan adalah bagian paling sering mengalami tersangkut duri.
Kali kedua aku mendengar rengek’an pak Cheong untuk berhenti dan rehat menata kembali nafas, relaksasi dengkul, dan kembali mengunyah ketimun.
“ aigoo kenapa anda pilih jalur ini, saya baca di internet jalur komando lebih gampang “
“ iya pak, jalur komando lebih landai, tapi tidak lebih cepat dari jalur ini, bukanny anda mau cepat-cepat? “
“ tapi naik banyak, licin banyak, jadi capek “
Yaaah bukannya dia yang awalnya minta untuk tektok, bahkan melarang aku untuk siapin tenda, karena mungkin referensinya adalah gunung Andong, yang bisa tektok tanpa effort yang seperti malam itu untuk mencapai puncaknya, tapi meski begitu aku tanpa meminta pendapatnya aku siapin tenda, sleeping bag, matras, dan gear wajib lainnya, itu kenapa gak aku jawab ketika doi komentar
“ kenapa barang bawa banyak-banyak, sedikit saja biar cepat-cepat jalannya “
“ air sedikit saja, sudah ada mentimun “
Dan bla-bla-bla lainnya yang aku hoohin ajah
Horeee sudah sampai puncak!
Beruntung sekali malam itu, eh pagi itu kami mencapai puncak tanpa kehujanan, plus feeling lucky lainnya karena langit begitu cerah, bulan terlihat sombong kepedean, bintang maen keroyokan, dan lampu kota terlihat tidak tau diri, jauh dibawah sana.
Dipuncak tugu burangrang, sudah ada dua tenda dome lain berdiri memenuhi area puncak, aku sempet berkeinginan untuk ngecamp di shelter lain yang tak jauh dari puncak situ, tetapi urung karena ternyata monodome masih bisa nyempil diantara dua tenda yang ada, tanpa mengganggu akses jalur jika ntar rombongan laen lewat.
Setelah tenda selesai dibangun, sleeping bag dan lampu sudah tersiapkan, si Korean dengan antusias menjabat tangan aku dan berkata
“ selamat kita beruntung, cuaca bagus dan aku bisa poto-poto banyak “
“ terimakasih, juga buat tenda dan sleeping bagnya, maaf saya salah planning perjalanan kali ini “
Yup seandainya aku ikuti omongan doi yang tanpa tenda dan sleeping bag, plus lainnya, maka bisa dipastikan perjuangan ngajentul berdua duduk termenung menunggu sunrise selama dua jam, dipuncak Burangrang, dinihari, dan kedinginan! Wew bisa hypo tuh
Tercatat kami sampai puncak jam 03:00 tepat, dimana rekor baru bagi aku sendiri muncakin Burangrang dengan waktu tempuh 3 jam… lumayaaan karena sebelumnya waktu tempuh yang kami (serombongan 7 orang) capai cukup 6 jam… hehehehe
Aku sudah pengen buru-buru tidur, tapi si Korean masih saja antusias motion sana-sini view malam yang cerah dan jepretable, terlebih kali ini gear DSLR nya doi bawa juga, hadeuuuh
Dan kamipun terlelap kemudian
Sunrise!
Suara berat langkah kaki yang melintasi tendaku cukup untuk menandai bahwa mentari bersiap untuk menampakkan diri, aku coba intip keluar tenda, dan benar gurat merah terlihat jauh di ufuk, meski sedikit terhalang awan, tetapi keindahannya tetap terlihat, aku bangunin si Korean, dan dengan tergesa ia siapin kamera, lalu bergegas keluar tenda.
Ah rupanya suara langkah tadi adalah dari rombonganyang ketemu dengan kami semalam, wew betapa mereka menikmati perjalanannya, berangkat jam 10 dan tiba di puncak jam 5 ? hmmm ah sudahlah
“ waaow bagus sekaliiii ….”
Lalu hanya suara click kameranya yang berulang terdengar, sedangkan aku lanjut Tarik sleeping bag maaang lalu mlungker semlungker mlungkernya hahahaha boong, karena sanres di Gunung Burangrang terlalu sayang untuk dilewatkan, akupun segera colokin powerbank ke hapeku,
Ada banyak puncak gunung perlahan terlihat jelas dikejauhan sana, lampu masih belum semuanya dipadamkan, kabut berangsur menghilang, dana wan yang menggantung dibawah sana, terlihat seperti hamparan yang menyempurnakan indahnya pagi itu.
Kubiarkan si Korean liar memaksimalkan kemampuan teknik photografinya, sedangkan aku sendiri kemudian sibuk mempersiapkan sarapan pagi, dan tentunya juga kopi coklat hangat andalan.
Perbekalan makanan lebih dari cukup untuk dua orang yang kenyang dengan mentimun selama perjalanan nanjak, tidak terlalu lapar memang, itulah kenapa kemudian sereal menjadi pilihan ketimbang dengan makanan berat lainnya.
Tapi aiggooo ternyata aku lupa memasukkan sendok dan garpu kedalam keril saat berangkat, sehingga memasak tanpa sendok terasa begitu meresahkan menyebabkan gundah dan gulana…hayaaaaah!
Ide cemerlang kemudian muncul, hal itu sepertinya dipicu oleh efek vitamin C yang selalu aku bawa dan aku kunyah dipagi hari ketika mendaki gunung, yup botol bekas air mineral, cukup untuk dikreasikan menjadi sendok, dengan modal pisau dan gunting.
Ok, sarapan beres, dan jepret-jepret juga udah banyak, tinggal beresin barang dan packing kembali untuk segera turun balik ke legok haji.
Tepat jam 07:00 kami berdua kemudian turun dari puncak Burangrang
Selama perjalanan turun tidak banyak serita yang bisa aku catatkan disini selain kejadian mengerikan yang sempet membuat aku panic dan waswas.
Yup saat itu kami sudah satu 90 menit perjalanan turun, dan berarti sudah tinggal 40an menit lagi kami sampai di basecamp pak RW, yup kami memang mencatat waktu tempuh turun Burangrang 2jam 20 menit, sedikit terlambat karena kejadian tersebut.
Seperti yang aku mention sebelumnya tentang penggunaan trekking pole, untuk kondisi trek licin dan basah seperti jalur Burangrang, penggunaan sepasang trekking pole bukan pilihan yang smart, karena justru menjadi penghambat ketika kamu harus berpegangan, menggantung, mengayun dari akar, ke pohon, atau dari batu ke batu lainnya, karena stick hanya untuk menahan dari atas kebawah, bukan menahan saat tubuh kamu berayun turun.
Dan itu pula yang mengakibatkan si Korean terguling dan terbanting keras pada saat kedua tongkatnya tidak menahan beban badannya dengan tepat, tebing setinggi 4 meteran pun terlibas habis dan mentok nyungsep sempurna.
Aaarggh!!!!
Aku kaget dan reflek langsung berputar badan lari mendekati si Korean, namun terlambat, badannya sudah membentur tanah, menyisakan erangan kesakitan pada jari tangan, pinggang, dan mata kaki.
“ aigoo sakiiit, sakittt banyak, ini kaki juga sakiiit “
Erangnya sambal melepas hand glove dan sepatunya untuk kemudian di cek kondisinya
Segera aku keluarkan first Aid box atau kotak P3K untuk membantunya
Setelah kesakitannya reda, aku ambil salah satu tongkat yang masih tertingga di atas sana, aku sarankan untuk rehat dulu, dan lanjut ntar kalua shock udah ilang, dan kondisi siap.
“ jaga jarak dan ikuti langkah saya ya, jalur ini jalur tanah semua, tidak ada pasir dan batu, sehingga licinnya pake banget “
“ justru kalua ada batu, tadi aku sudah mati “
Gubrag!
Yang aku pikirkan pada saat itu adalah bagaimana cara mengevakuasinya, sedangkan kami hanya berdua, dimana secara pakem sudah tidak disarankan melakukan pendakian alam liar, karena minimal anggota 3 orang, jika harus menggendongnya maka resiko terpeleset bareng juga semakin besar, waduuuh bingung.
“ he he he saya OK, tidak apa apa, sengaja tadi sengaja, ayo pergi lagi “ sahutnya kemudian setelah beberapa lama istirahat
Oh OK Let’s go
Dan jam 9:30 kami sampai di rumah pak RW untuk segera berberes dan kemudian cabut balik ke Cirebon.
- Ajaklah minimal 2 teman kamu jika ingin berpetualang di alam liar
- Persiapkan alat dan perlengkapan sesuai kondisi dan kebutuhan
- Ijinlah kepada pihak yang berwenang, tinggalkan nomor telephone
- Berhati-hati dan jangan pernah meninggalkan teman
Pergilah yang jauh, agar kamu tau nikmatnya pulang