Cireboner - Ciremai Weekend Adventures - Ojek Wisata Cirebon - Ojek Wisata Kuningan - Souvenir Khas Cirebon - Souvenir Asli Cirebon - Ngebolang ke Cirebon
Have question?
Visits:
Today: 1All time: 1

Aku pejalan sepi - Edisi Sumbing

Bolanger Notes » Aku pejalan sepi - Edisi Sumbing

  • Start Riding 0627
    Start Riding 0627
  • Sampai di basecamp garung 1144
    Sampai di basecamp garung 1144
  • Start trekking pos 1 1250
    Start trekking pos 1 1250
  • Pos 2  1340
    Pos 2 1340
  • Engkol-engkolan 1354
    Engkol-engkolan 1354
  • Pos 3 1421
    Pos 3 1421
  • View dari pasar watu 1540
    View dari pasar watu 1540
  • Pasar watu 1556
    Pasar watu 1556
  • Pestan 1456
    Pestan 1456
  • Watu Kotak 1642
    Watu Kotak 1642
  • Me and Sindoro 0628
    Me and Sindoro 0628
  • view dari my dome
    view dari my dome
  • My Dome 0630
    My Dome 0630
  • Start Summit 0631
    Start Summit 0631
  • View Sindoro pagi
    View Sindoro pagi
  • Sampai Puncak 0710
    Sampai Puncak 0710
  • View Kawah dari puncak 0727
    View Kawah dari puncak 0727
  • Mini Savanna puncak sumbing 0730
    Mini Savanna puncak sumbing 0730
  • Rongga batu kawah sumbing 0737
    Rongga batu kawah sumbing 0737
  • Segoro Wedi 0753
    Segoro Wedi 0753
  • View Segoro Wedi
    View Segoro Wedi
  • Sampai di Segoro Wedi
    Sampai di Segoro Wedi
  • Rumput Sorga
    Rumput Sorga
  • Siap Balik ke camp 0843
    Siap Balik ke camp 0843
  • Papan Nama Pestan raib
    Papan Nama Pestan raib
  • In memoriam 1202
    In memoriam 1202
  • Pos 2 jalur baru 1215
    Pos 2 jalur baru 1215
  • Kembali ke basecamp 1402
    Kembali ke basecamp 1402

Alone Rider

"OK Fine!..." begitulah setidaknya salah satu kalimat yang menghantarkanku menuju waktu luang saat sisa cutiku aku habiskan sebelum expired, he he he Met Pagiiiiitongue-out

Next step tentunya aku buka forum di backpacker Indonesia, group FB provider open trip, dan semacamnya untuk cari destinasi yang pas, dan tanggal yang juga pas, karena pastipas dimulai dari Nol ya mas

Hampir semua yang ditemukan adalah destinasi kepulauan dan lebih mengecewakan lagi trip2 tersebut start point dari Jakarta, semuanya! Itu kenapa akhirnya ada sebuah pertanyaan, apakah EO dan travel agent di Cirebon masih belum melihat peluang tersebut? Atau orang-orang Cirebon yang secara life style belum menjamin peluang tersebut muncul dan bertahan?, bukankah tumbuh kembang komunitas jalan-jalan di Cirebon sudah pesat?

Keinginan untuk mendapatkan Travel agent di Cirebon untuk paket trip keluarga ke destinasi di sekitaran cibodas, galunggung, dan lainnya pun gatot vroh

Ah sudahlah, toh selalu ada pilihan ketiga, yaitu mudik! Yeaaaah!!!laughing

Yup mudik ke Magelang jadi pilihan tepat, secara bisa sungkem pada Ibu dan juga banyak pilihan mlipir, baik itu Prahu, Slamet, Sumbing, Sindoro, Andong, dan Gunung Manggul Jaya, meski kemudian Sumbing menjadi yang terpilih.

Yup turing mlipirable itupun kemudian dimulai tepat jam 07:00 dengan tarikan gas pertama beriring senyum dan doa cool so fully motivated.

Garung
Dengan speed standard turing, jam 11an sudah sampai di Basecamp Garung, terlihat disono sudah ramai para pendaki yang sedang istirahat, ada serombongan yang baru turun dan beberapa rombongan yang sepertinya sedang persiapan naik.

Registrasi pun aku lakukan, dan syukur banget jika ternyata untuk pendakian gunung Sumbing, seorang diri pun diperbolehkan, pengalaman sebelumnya di Argopuro dan Semeru, cukup sulit untuk bisa melenggang menapaki jalurnya sendirian.

Dan memang pendakian seorang diri, secara aturan cukup layak untuk ditolak, karena banyak hal dan kondisi yang sangat beresiko jika diliarnya ketinggian sana kamu berjuang seorang diri, tiga orang adalah jumlah minimum ideal untuk melakukan sebuah perjalanan alam liar.

Proses registrasi di Garung tidak begitu ribet, bahkan tidak dimintain copy KTP, atau sekedar nomor kartu tanda penduduknya, yang ada hanya mengisi kolom nama, alamat, dan standar identifikasi lainnya, beres! IDR 20K cukup murah jika standard yang dipakai adalah simaksi di gunung Ciremai jawa barat.

Selembar peta, lembar peringatan dan himbauan, tiket parkir, tiket pendakian, dan tiket air bersih merupakan paket yang kita dapatkan di registrasi tersebut, pastinya dengan sebuah kantong “bagor” ukuran sedang untuk membawa kembali sampah.

Re-packing aku lakukan dan disitu aku sadar bahwa jaket windbreaker, kerpus, kanebo, buff, dan gelas tidak berada di kerilku, akhirnya jaket motor pun menggantikan posisi jaket windbreaker, sedang yang lainnya… ah sudahlah…

Dari hasil ngobrol dengan pendaki tuan rumah yang kebetulan lagi nongkrong disitu, ada banyak informasi penting yang bisa aku jadikan modal perjalanan kali ini, jalur, kondisi, camp point, ketersediaan air, resiko, sinyal seluler, dan frekuensi radio yang dipakai untuk emergency purpose, termasuk cukupnya bekal air meski hanya 2 liter untuk seorang diri.

Aku beli dua botol air mineral 600ML untuk tambahan 2 botol lainnya yang udah aku bawa dari Cirebon, satu untuk perjalanan naek dan tiga lainnya masuk dalam keril.

Aku jadi inget sebuah meme, yang isinya meledek pendaki alay, dimana padanya terdapat satu kalimat yang menyatakan bahwa salah satu ciri pendaki alay adalah dengan memakai jaket motor! Trus memanfaatkan Ojek saat memulai pendakian, dan itu aku banget saat itu, tapi… ah sudahlah.laughing

Roller coaster sensation

OK Fine, jika mau idealis memang selayaknya pendakian dilakukan tanpa memanfaatkan Ojek dari basecamp, tetapi setelah mencoba naek Ojek dari basecamp ke pos 1, maka aku rekomendasikan dengan sangat bagi siapapun yang akan mendaki gunung Sumbing via Garung, untuk mencoba sensasi roller coaster ala ojek garung!.

Boam dengan idealis pendakian, karena sensasi dan ketegangan yang luar biasa akan menjadi pengalaman seru dan memacu adrenalin, bagaimana tidak? Dengan motor bebek 2 tak prOtolan ala trail, kamu disuruh duduk didepan ala cabe-cabean, dengan berpegangan pada setang kemudi, sedang keril digendong oleh ridernya, jalanan nanjak, sempit, berkelok, dan berbatu dilibas dengan speed rata-rata 60km/jam! Eddasss vroh...cool

Jika badanmu lebih gede ketimbang ridernya, maka akan lebih seru lagi, karena rider harus memiringkan badannya agar jalur bisa kelihatan, sangat beresiko jatuh nyusruk atau bahkan bertabrakan pada saat berpapasan dengan ojeker lain, jika amit-amit terjadi kecelakaan maka ancaman kepala pecah sangat mungkin terjadi, OK speed 60km/jam jika di pantura akan berasa sangat-sangat lambat, akan tetapi jika di jalur sempit, kampung dan berbatu makadam yang nanjak, maka prosentase seru dan takutnya sekitar 31/69 tongue-out

Selain itu, tentu saja stamina juga akan utuh saat mulai trekking dari pos1, sedang kalau trekking mulai basecamp, maka sampai pos1 ajah udah bisa dipastikan tepar, karena jarak basecamp menuju pos 1 bisa mencapai 2 jam lebih.

Lagian kan mendaki mah mendaki gunung, bukan mendaki kampung to? Jadi selama masih di kawasan kampung ya gak pake mendaki lah, cukup ngojek aja… ok jek? :P

Oh iya, jalur yang bisa dipakai ngojek hingga pos 1 adalah jalur garung lama, dan jalur inilah jalur yang lebih rame ketimbang jalur baru. Dan jika mau pakai jalur baru, sebaiknya pada saat naiknya bukan pada saat turun, karena jika via jalur baru, maka dari pos 1 hingga basecamp akan berasa saaaangat jauh, persis seperti pos Cigowong Ciremai hingga basecamp Palutungan, selain itu jalur baru untuk turun sangat licin, dan harus banyak kali merundukkan diri demi menghindari keril kulkas nyangkut di pohon tumbang dan semak2 yang menghalangi jalur, capek tentunya.

Trio Bandunger

Pada kilometer pertama setelah pos 1, aku bertemu dengan trio Bandunger yang katanya baru pertama kali juga naek Sumbing, saling sapa, berkenalan dan ngobrol santai sambil engap-ngapan berlangsung tidak begitu lama, karena aku terpaksa meninggalkan langkah mereka yang sedikit lebih sering perlu istirahat, tapi kita berjanji untuk ketemu lagi di atas sana, hadeuuuh siapa saja nama mereka aku lupa!.

Pos 3

Langkah keong ala kaki seribu aku cukup lancar hingga pos 2, rehat cukup dengan tiga jepretan selfi, kemudian lanjut trekking, namun kali ini kondisi jalur cukup membuat dengkul ketemu perut di beberapa titik, jalur tanah yang masih lembab cukup membuat beberapa kali kakiku tersentak kaget karena selip licinnya.

Berhasil melewati pos 3 itu cukup melegakan, karena begitu lihat balik ke belakang, akan terbayang betapa keras effort yang telah dilakukan, juga setelahnya akan terlihat shelter yang cukup lapang untuk beberapa tenda, sampah mulai terlihat berserak, dan tidak pungutable, karena sudah berbaur dengan lumpur, sungguh sayang memang.

Dari titik itu menuju Pestan, mata sudah sangat dimanjakan dengan pemandangan yang wow!, gunung Sindoro di sisi belakang, dan punggungan jurang disisi kanan jalur, cukup untuk memanipulasi stamina yang sudah kedodoran.

Pestan

Menjumpai beberapa dome warna-warni di kejauhan sana, membuat langkah semakin bersemangat, karena kesendirian selama beberapa jam sebelumnya sepertinya akan berubah, ada lebih dari 8 dome yang berdiri disana dan terlihat beberapa pendaki sedang ambil photo-photo punggungan jurang sisi kanan jalur.

Aku coba untuk mendekat, nebeng menikmati view tersebut, namun sepertinya mereka masih cukup serius ngobrol satu sama lain, sehingga adaku disana cukup ignored. Ah sudahlah… maka aku berlalu saja melanjutkan langkah keongku.

Beberapa meter setelahnya ada terlihat tiang dengan papan nama yang mulai goyah, sedang digandeng  mesra oleh seseorang untuk selfi, aku merasa harus ambil gambar juga di titik itu, oleh karenanya sambil antri gentian, aku rebahkan keril dan memanfaatkannya untuk menikmati angin semilir kencang dan view luar biasa di kedua sisi jalur yang terbuka.

Yup itulah pos Pestan, sebuah open space dimana jalur garung lama dan baru bertemu,

Dan mereka berempat, satu cewek dan 3 lainnya cowok, mereka pendaki tuan rumah yang pastinya sudah berulang kali memuncaki Sumbing, aku menyapa, dan bertanya banyak hal, sehingga informasi akurat bisa aku dapatkan dari mereka, mereka menargetkan untuk bisa ngecamp di kawah, dan dari situ aku juga akan nebeng untuk mencapai kawah dan menjadi tetangga camp mereka.

Pasar Watu

Dari Pestan sudah terlihat jelas diatas sana Pasar watu, yang dari namanya tentu bisa kita tebak bahwa watu = batu sangat mendominasi jalur tersebut, yup benar batu segede gaban banyak terdapat dijalur itu, pantes disebut pasar karena banyaknya bebatuan, dan ketika mencapai puncaknya maka akan sangat memanjakan mata dan lensa, dengan sense of angle sedikit saja, sudah akan bisa kamu dapetin photo yang luar biasa, dimana puncak Sindoro diseberang jauh terlihat jelas, gumpalan awan putih menebar dibawah sana, dan bebatuan terlihat eksotis menjulang. Wow bingit

4 Sekawan

Di ujung pasar watu ini aku bertemu dengan tiga pendaki dari Jakarta, eh empat ding (yang satu ketinggalan jauh dibawah sana) kami sempat ngobrol dan photo bareng, akun sosmed pun tak lupa aku catat, untuk disambung kembali di dunia cyber nantinya.

Mereka ramah dan welcome dengan pejalan kaki kesepian macam aku, bahkan aku boleh nebeng mereka untuk lanjut trekking hingga pos Watu Kotak, aseek

Watu Kotak

Membayangkan sebuah batu boleh, tetapi untuk membayangkan bentuknya yang kotak tidak boleh, karena sejak kedatanganku disana bersama keempat temen baru itu, tidak aku temukan batu yang benar-benar layak untuk disebut kotak, karena yang ada hanya batu-batu kerabat kotak, hey Tantri!!

Hari sudah menjelang sore, dan kabut pekat mulai naek menuju puncak melewati kami yang sedang engap di watu kotak, gerimis pun kemudian ikutan iseng menciutkan nyali kami untuk lanjut mencapai puncak, ditambah lagi keempat pendaki tuan rumah pun sudah gelar tenda di sisi lain watu kotak, walhasil akupun memutuskan ngecamp juga di situ, daripada kejebak badai sendirian diatas sana kalau aku nekat lanjut muncak hujan-hujanan.

Dan keempat pendaki Jakarta itupun memutuskan kembali ke camp di pos 3 jauh dibawah sana, artinya mereka gagal muncak, merelakan kabut dan gelap menguasai petang itu.

Dingin mulai berasa bersama angin yang semakin kencang, dan rongga batu itu cukup untuk monodome aku, maka segera aku gelar tenda disana, ngeri memang jika melihat retakan-retakan di dinding batu diatasnyayang menjulang tinggi, plus jurang dalam di sisi belakangnya, akan tetapi pertimbangan badai dan hempasan hujan mengabaikan bayangan ngeri dan horror yang cukup berasa di lokasi itu.

Tenda sudah jadi, dan keril sudah aku bongkar, hujan udah berhenti dan kabut perlahan pndah tempat keatas sana, aku manfaatin dengan nongkrong didepan tenda sambil menikmati pemandangan luar biasa di kejauhan kaki Sumbing, cukup menenangkan dan mengurangi dingin yang berusaha menyelinap di celah jaket motorku.

Si Embah

Keika sedang asyik menikmati kesendirian di rongga batu itu, tiba-tiba dari balik batu sisi kiri muncul beberapa pendaki yang baru turun dari puncak, ada sekitar 8 orang dan mereka dari jawa tengah jika didengat dari logat jawanya.

Aku menyapa mereka, dan ternyata yang aku dapat sebuh saran mengerikan,

“mas kalau boleh saya kasih saran, sebaiknya mas tidak ngecamp disini, lebih baik di pos 3 saja mas”

“kenapa emang mas kalau ngecamp disini” tanyaku kemudian

“enggak, saya kasih saran saja” sahutnya tanpa memjelaskan alasannya kenapa

“Oke kita rehat disini sebentar “ tiba-tiba seorang lain diantara mereka memerintahkan peserta rombongan untuk rehat di batu tempat aku ngecamp, sepertinya orang itu adalah ketua rombongannya, maka berlangsunglah obrolan seru.

“ eh namanya siapa mas?, saya Wisnu dan mereka biasa manggil saya embah… “ sambil mengulurkan tangan

Etdah embahnya !

“ ee saya Happy mas, dari Cirebon “ sahut aku berjabat tangan

“ Sendirian ? “ tanyanya lanjut

“ Hooh sendirian mas” sahutku kemudian

Dan obrolan pun berlanjut dengan pasif, karena ternyata aku lebih menjadi pendengar yang khidmat pada kisah pendakian sang embah ke gunung-gunung seleb Indonesia, mulai cartenz, Rinjani, Kerinci, hingga Kinabalu, yup sepertinya Embah terbawa nostalgia masa mudanya saat menjadi petualang ketinggian, hingga gelap ,menyadarkannya untuk segera lanjut turun ke camp di pos 3.

Kembali aku sendiri, dan untuk sekedar masak sereal ataupun makan malam aku sudah terlalu capek, angin kenceng dan dingin mulai menusuk kulit, aku putuskan untuk masuk tenda dan menutupnya rapat, agar suhu panas dari tubuhku memenuhi tenda dan tidak terbuang keluar.

Walhasil karena kemalasan yang diatas rata-rata maka makan malam itu cukup dengan air mineral dan ngemil mie instant, kriuk kriuk kriuk hingga kemudian terlelap

Malam semakin larut, dan suara angin semakin ngeri, terlebih gemeretak batu terdengar jelas diantaranya, tidur jadi waswas meski logika mencoba menghibur dengan pemahaman bahwa suara batu itu adalah batu yang menjadi bandul tenda, terikat dengan tali prusik dan bergerak karena angin yang meniup. Meski kadang “ masak sih sedemikian kerasnya ? “


Ah sudahlah, tentang mimpi dan bagaimana aku menjalani malam yang begitu panjang di celah batu raksasa itu biar menjadi pengalaman Pribadi yang entah kapan bisa aku bagi, karena kadang aku sendiri masih ragu, apakah itu mimpi ataukah benar kenyataannya demikian.

Sunrise!

Pagi menjelang… warna langit sudah sedemikian jingganya, yup sunrise dating dengan kesejukan yang mendamaikan, masih malas memang untuk beranjak keluar dome, tetapi pesona keindahan pagi mengalahkannya, aku keluar dan segera menuju ujung batu.

Berdiri disana pagi itu, berasa seperti orang yang paling beruntung dimuka bumi ini, yup aku masih hidup, aku masih terbangun, aku masih bisa berkomunikasi dengan kemahaan tuhan, subhanalloh sungguh moment pagi yang sangat religious, melelehkan keangkuhan ego pada siapapun yang peka pada interaksi penghambaan. Weuhh!!

Kukuruyuuuuuuk begitulah teriak protes dari perut aku yang sejak sehari sebelumnya hanya di PHP-in dengan sesachet madu, sebotol air mineral, dan sebungkus mie instant, itupun mentah, jadi wajar jika aku harus segera mengenyangkannya, maka masak mie instant menjadi aktivitas selanjutnya.

Kenyang sudah, peking-peking sudah, selain tenda semua sudah masuk kedalam keril, kini saatnya memulai langkah pertama summit ke puncak Sumbing, atau kalau mampu sampai puncak hobit sekalian,

Summit attack!

Masih ada Poin jalur Lemah putih, lalu persimpangan puncak buntu dan puncak kawah yang estimasi waktu tempuhnya satu setengah jam, perlahan namun ragu aku melangkah klunuk-klunuk lunglai secara di separuh perjalanan aku baru nyadar bahwa dry bag yang aku bahwa tak berisi air minum..aaargghhh! mau balik udah kadung tinggi banget.

Yah sebuah keteledoran yang fatal memang, ketika trekking tanpa membekali diri dengan air minum, bahkan tanpa apapun yang bisa dimakan, karena di drybag 20Ltr yang aku bawa hanya berisi peta, powerbank, raincoat, dan headlamp, antisipasi hujan, kabut, dan gelap beres, tapi antisipasi haus dan lapar terlewatkan.

Jalur Lemah Putih sebagaimana namanya memang merupakan trek terjal yang didominasi oleh tanah yang berwarna putih atau dalam Bahasa kecilku disebut “Lempung”, adanya lempung menunjukkan adanya kelembapan yang sangat pada tanah tersebut, dengan kata lain ada air yang bisa kita temukan pada tanah lempung tersebut, dan benar disalah satu jalurnya ada sebuah rembesan yang jika kita mengalirkannya dengan sedotan atau semacamnya, maka lumayan hasilnya dalam 5 menit 250Ml air segar dan jernih bisa kita dapatkan.

Dengan haus yang sudah terbasahi, aku lanjut nanjak, masih tak terdengar atau bahkan terdengar orang lain disekitar jalur yang aku lewat, artinya aku masih seorang pejalan sepi.

Beberapa saat kemudian lamat-lamat terdengar beberapa suara orang diatas sana, oh aku gak sendiri, namun begitu pengen speed up menuju suara2 itu, aku dihentikan oleh sebuah in memoriam yang terbangun rapi disebuah sudut batu disebelah jalur, akupun mlipir untuk sekedar memberi hormat dan sekaligus untuk tahu siapakah yang telah menemui tuhan ditempat setinggi itu.

Dan begitu sampai dipuncak, aku membentangkan pandangan jauuh kebelakang bawah sana, yup kemegahan Sindoro masih jelas terlihat, sedang di kejauhan depan sana kawah terlihat memutih dan berasap.

Kawah

Godaan untuk turun sampai kawah tak tertahan lagi, terlebih ketika aku melihat dua orang disana sedang berjalan balik menuju tempat aku berdiri, yup mereka adalah dua orang dari empat tetangga camp ku di watu kotak, dan dari merekalah aku dapetin info special tentang Kawah, Makam di sebelah kawah, Puncak Hobit, Segoro Wedi, dan juga Batu Lempar jumroh.

Yup aku adalah orang ketiga pagi itu yang sampai di puncak, orang kedua yang turun kekawah, dan orang pertama yang ngider sampai ke segoro wedi, karena selain mereka berdua, lalu rombongan pramuka yang sedang narsis di puncak buntu, tidak ada lagi selain aku.

Praktis aku sendirian di kedalaman kawah, gelegak kawah terdengar seru mengerikan saat langkahku melewatinya, kepulan asap putihnya lumayan tebal meski gak sampai menghalangiku mencapai makam tokoh unidentified yang disebut dengan kiai mangkukuhan, silahkan gugling untuk tau siapakah sosok Kyai Mangkukuhan tersebut.

Makam kiai mangkukuhan itu ditandai dengan cungkup terbuka, ada kijing beton dan susunan batu-batu yang membatasinya, terbersit keinginan untuk sekedar bersepi di makam tersebut barang sebentar namun karena badan dan pakaian yang berasa kotor maka aku mengurungkannya.

Disebelah area makam terdapat sebuah oen space yang berumput dan memungkinkan untuk mendirikan tenda dan bermalam disana, kata pendaki tuan rumah, jika ngecamp disana tidak akan berasa dingin, karena secara kontur memang angina tidak akan kencang bertiup karena terlindungi oleh tebing batu dan udara panas dari kawah, terdapat juga sebuah rongga batu yang cukup untuk tenda dome kapasitas 6 orang didirikan disana, cukup bernuansa spooky dan mistis, terlebih jika kamu sendirian saat itu.

Lempar Jumroh ?

Kemudian langkah aku lanjutkan melewati berisiknya kawah menuju segoro wedi, untuk menemukan dan membuktikan adanya sebuah batu besar dengan angka 7 tertulis disana sebagai target pelemparan kerikil “jumroh” bagi para pemburu berkah, karena jika lemparan kamu bisa mencapai dan mengenainya maka apa yang kamu niatkan pada saat melempar itu akan dipermudah untuk terwujud dan terkabulkan.

Tidak terlalu jauh memang jarak kawah dan segoro wedi tetapi ketika melewati pasir berisik nya ngeri euy, jalur menuju segoro wedi cukup jelas dan berasa jalan-jalan disebuah taman, terlebih dengan adanya sungai kecil yang melintasi padang rerumputan, wew..

Setibanya di Segoro wedi hal yang pertama aku lakukan adalah mencari keberadaan batu bertuliskan angka tujuh dengan warna merah, sebagai target pelemparan jumroh, sebagaimana informasi yang aku dapet, namun tidak jelas batu yang mana yang dimaksud karena sepertinya tulisan pada batu tersebut sudah blur dan tak lagi bisa diidentifikasikan.

Hal yang kedua aku lakukan adalah menyusun batu menjadi sebuah tulisan, sebagaimana orang-orang sebelumnya, dan tentu saja cireboner.com menjadi kata terpilih untuk aku tinggalkan dipuncak Sumbing waktu itu.

Berlama-lama bermain di kawah Sumbing memang seru, meskipun itu sendirian, dan teriakan-teriakan dari atas sana menyadarkanku untuk segera kembali naik kepuncak dan turun ke camp, karena perjalanan pulang masih butuh effort lebih, kenapa? Licin brooo

Balik ke camp

Dengan dipandu oleh seekor burung Jalak, aku turun menuju camp, pada saat turun itulah aku berpapasan dengan banyak rombongan pendaki yang akan summit, dari yang pertama ketemu maupun yang sudah bersapa ria saat di basecamp, mereka kebanyakan ngecamp di post 3.

Ada semacam FAQ yang menjadi template dari pertanyaan yang sama ketika turun bertemu dengan yang naek, masih jauh kah? Berapa jam lagi kah? Dan lain sebagainya, dan aku harus menjawabnya apa adanya, karena hal itu yang juga akan aku tanyakan pada saat aku naek dan ketemu dengan yang turun

Sesampainya di Camp watu kotak, aku dapati dua dari trio Bandunger yang sedang rehat, yup kita bertemu lagi, ngobrol, dan ternyata keduanya memutuskan untuk menunggu teman satunya yang sedang naek summit, mereka berdua merasa belum mampu untuk memaksa lanjut secara stamina yang mereka hitung untuk perjalanan turun nantinya.

Sebenarnya siapapun bisa dipastikan akan bisa mencapai puncak gunung manapun, karena foktor keberhasilannya adalah motivasi dan management stamina, terlebih jika tanpa target waktu, dan selalu woles kompromi dengan setiap jenis kondisi, sekali lagi siapapun akan mampu mencapai puncak gunung manapun jika cara memeotivasinya tepat dan mengatur staminanya juga tepat.

Dan tepat jam 10:30 aku turun dari watu kotak menuju pasar watu, disini sebotol air mineralku harus aku bagi pada pendaki dari Cilacap yang terlihat sangat kehausan, dengan begitu masih ada satu botol 600ML lagi untuk bekal turun hingga basecamp atau setidaknya hingga nemu sumber air di jalur nanti.

Papan nama Pestan raib!

Ada hal yang menarik ketika langkah turunku sampai di pos pestan, dimana papan nama pos yang kemaren saat naik masih ada, saat turun hanya menyisakan tiang kosong, entah siapa yang mencopotnya dan memindahkannya, secara ketika aku coba cari disekitarnya tidak ketemu, huft masih ada yah pendaki yang isengnya buruk.

Kebanting di Jalur Baru

Saat ketemu dengan persimpangan jalur di Pestan, aku sempat bimbang apakah tetap memakai jalur lama atau mencoba jalur baru, hamper tiga menit aku galau untuk memilih, disatu sisi jika aku pakai jalur lama tentu dari pos 1 aku bisa free dengan ojek menuju basecamp, jika staminaku down, tetapi kesempatan untuk tahu bagaimana serunya jalur baru tidak bisa aku alami, tetapi jika aku ambil jalur baru, tentu akan berasa berat dan kepastian ada tidaknya ojek tidak aku ketahui, artinya harus survive jika ternyata sepatuku tidak cocok untuk trekking turun.

Yup sampai saat ini aku masih belum menemukan sepatu yang benar2 nyaman dan pas untuk turun gunung, jadi bisa dipastikan aku akan selalu bermasalah dengan sepatu jika turun, dan saat itu untuk mengganti sepatu dengan sandal sangat malas bongkar2 keril.

Walhasil ketika jalur baru yang aku pilih, dan ternyata lebih seperti jalur aliran sungai, maka terpeleset menjadi hal yang harus di antisipasi banget, dan meski sudah memahami bahaya itu, ternyata lebih dari 6x aku harus terbanting keras karena pijakan kaki yang slip terpeleset.

Ada sedikit info bahwa jalur baru lebih mudah untuk naek, mungkin iya benar begitu, tetapi saat turun, aku berpendapat bahwa jalur lama masih jauh lebih mudah, meski tingkt resiko terpeleset karena licin 11/12, tapi setidaknya jalur lama tidak ada acara nunduk-nunduk menghindari ranting dan pohon nyangkut di keril, dan jalur baru sangat lebih sepi ketimbang jalur lama, hanya sekali ketemu camp di jalur lama dan dua kali ketemu rombongan naek, Selebihnya aku tetap menjadi pejalan sepi.

Meski sakit pada kedua jempol kakiku, tetapi untuk mengganti dengan sandal masih belum aku lakukan, setapak demi setapak aku berjalan sangat pelan untuk menghindari kontak berlebih antara jempol dan sepatu, yup aku belum menemukan sepatu yang nyaman untuk proses turun gunung selama ini, semua hanya nyaman buat naek saja, dan begitu sampai di pos memoriam, aku rehat sejenak.

Coklat paling nikmat sedunia!

Kenikmatan luar biasa aku temukan di jalur menuju pos 2 dari memoriam tersebut, yaitu coki-coki! Yup sebuah coki-coki yang pastinya sudah kadaluwarsa banget, terlihat dari warna bungkusnya yang sudah memudar kekuningan terpapar matahari, dan tertimbun semak, awalanya aku memungutnya sebagai sampah untuk aku masukin ke kantong sampah yang sudah berisi separuhnya, tetapi ketika kudapati bahwa coki-coki tersebut utuh, maka aku coba membukanya…. Wow ternyata coki-coki terbungkus berlapis, lapisan luar udah sedemikan kotor, tetapi lapisan dalam masih terlihat utuh, rapat, dan makanable.

Aku sempat berpikir, “ bisa jadi coklat inilah yang akan menjadi headline sebuah media local, bahwa seorang pendaki ditemukan tewas diduga karena keracunan coklat yang sudah kadaluwarsa, yang ia temukan dijalur” hihihih serius ada waswas, tapi tetap sambil memakannya, dan itu sangat luar biasa lezaaaaat, maknyussss, dan ajib bingit. Tidak pernah aku rasakan coklat senikmat itu!!!!

Ketika sampai di persimpangan sungai, aku bertemu dengan serombongan pendaki yang sedang rehat, mereka ramah mempersilahkan aku untuk bergabung, sebenernya menarik dan pasti akan segar jika aku membasuh muka dan cuci-cuci dengan air jernih itu, terlebih ketika bertemu dengan orang2 baru yang welcome, tetapi ketika menyadari betapa kusut tampang aku setelah berjibaku dengan tanah saat terpeleset beberapa kali sebelumnya dan mereka yang masih keren dan segar, cukup untuk mengurungkan niat berbaur dan rehat, akupun lanjut.

Roller coaster edisi kedua

Ketika sampai di area kebun warga, tiba-tiba seorang petani menyapa dan menawarkan jasa ojek padaku, akupun hooh saja tanpa keberatan ketika sang ojek meminta kerilku untuk dia bawanya, saat ditanya "motornya dimana bang ? “ dia menjawab dengan santai ” ooh itu dibawah situ “ jawabnya sambil terus semakin jauh meninggalkanku, si bapak ini cukup ramah dengan bertanya danmenjawab banyak hal, ada satu pertanyaan yang cukup kupingable

“ apa gak takut naek gunung sendirian?”

“takut gimana tuh pak “

“ yaa sama yang gak keliatan mas”


“ ooh kalau yang tak kunjung keliatan itu motor bapak, saya takut banget pak ...”

Setdah parameternya “situ” harusnya berarti “dekat” dan tidak sejauh “sana” akan tetapi standard pribumi dan pendatang untuk ukuran jarak dan waktu selalu mempunyai selisih yang signifikan, itu pula yang aku temui saat motor ojek petani itu tak kunjung terlihat… tepokjidat deh, yang aku butuh adalah mengistirahatkan jempol kakiku, bukan beratnya beban keril dipundak aku broooo!!!! Keril mah masih kuat sangat aku bawa, atau mungkin sekalian bapak gw gendong juga oke, tapi iniiiii nih jempol kaki mentok ke sepatu, motor oh motor dimanakah kau beradaaa? Nyanyiku menghibur diri…tongue-out

Sebuah motor butut sangat 4 tak buatan honda kemudian terlihat nyender di sebuah pohon, ah ketemu juga ni motor…. Aku langsung ambil alih keril dan bonceng dah… secara jalur turunan maka berasa naek “gledegan” alias motor-motoran dari kayu dan bamboo, menggelinding begitu saja tanpa mesin nyala, dan itu mengerikan brooo.cool

Sensasi roller coaster kembali aku rasakanmeski gak se ngeri sehari sebelumnya, tetapi begitu sampai di basecamp aku merasa sangat bersyukur turun dari tu motor… huft!yell

Dan begitulah di basecamp aku bertemu kembali dengan rombongan si embah yang sedang prepare pulang, photo-photo dan kemudian bubar.

Akupun gak ada alesan untuk berlama2 di basecamp, segera setelahlaporan dan setor sampah, akupun langsung plintir gas meninggalkan basecamp

Facebook
PRchecker.info