Nyaliku tak setebal kabut Petungkriyono
Bolanger Notes » Nyaliku tak setebal kabut Petungkriyono
- bangunan antik jalur doro
- Camp PPGP Adventure
- Cottage kali paingan
- Jalur terasiring petungkriyono
- camp PPGP adventure
- Kabut tebal Petungkriyono
- Kali paingan
- Kolam ikan kali paingan
- air terjun jalur petugkriyono
- gerbang hutan ke linggo asri
- Gerbang linggo asri
- Jarak pandang terhalangi kabut
Selain motor dan safety gear serta kondisi fisik yang harus sudah siap, hal yang paling penting dalam memulai sebuah perjalanan adventure adalah sebuah senyum penuh doa dan lambaian tangan yang melepasmu saat tarikan gas pertamamu.
Dan hari itu adalah hari yang cerah untuk memulai sebuah misi survey ke sebuah puncak ketinggian di daerah kabupaten Pekalongan.
Awalnya aku mengira bahwa antara Linggo Asri, Kali Paingan, dan Petungkriyono, adalah tempat yang berada di jalur sama, cuman level ketinggiannya yang beda, ternyata itu salah besar, karena masing-masing nama itu kenyataannya menempati puncak ketinggian yang berbeda dan berjarak 3 jam perjalanan motor!.
Tercatat, start dimulai pada menitk ke 33 setelah jam 8 pagi, tentu dengan terlebih dulu menginformasikan kepada biker-biker di setiap kota yang akan dilewati sepanjang Cirebon-Pekalongan, siapa tahu ada salah satu mereka yang pengen gabung diperjalanan ini, brebes, tegal, pemalang, dan tuan rumah Pekalongan tentunya.
Salah satu catatan menarik dalam perjalanan kali ini adalah rekor terbaru jumlah aku harus berhenti hanya untuk sekedar pamerin KTP, SIM, dan STNK motor!, yup terhitung lima kali aku dihentikan oleh operasi yang digelar oleh kepolisian sejak dari Kanci Cirebon hingga Tegal, wew lima kali bro... dan dari kelima operasi tersebut hanya dua kali aku dapetin pak polisi yang simpatik dengan ramah dan friendly, selebihnya ....? hadeuh :tepokjidat
Saat rehat isi BBM di sebuah SPBU Brebes, aku bertemu dengan serombongan biker Vario 125 dari berbagai kota sedang bersiap untuk start perjalanan kearah yang sama denganku, aseek kesempatan nih buat nebeng Rcnya, dan begitu selesai isi BBM rencana untuk rehat sebentar aku gagalkan agar bisa segera menyusul mereka.
Sebuah operasi polisi lalu lintas menghentikan mereka, dan dari situlah aku mulai bergabung dibarisan, tepat dibelakang sweeper...lho? (namanya juga nebeng) mereka welcome dan segera berbagi signal dengan aku ketika turing berlangsung, akupun merasa nyaman.
Sebenernya seru konvoi bareng mereka, dan itu pula yang aku rasakan sepanjang brebes hingga Tegal, tetapi karena waktu yang terbatas, maka terpaksa aku pamit untuk betot gas lebih dalem dan terpisah dari rombongan, thanks untuk rombongan biker Vario 125.
Sampai di Wiradesa, aku melihat sebuah papan arah yang bertuliskan Wisata Linggo Asri, dan segera aku ikuti arah tersebut, seharusnya pada saat itu aku konfirmasi ke temen biker di Pekalongan yang sebelumnya udah janjian untuk nemenin, tetapi kok rasanya eman untuk sekedar berhenti, akhirnya aku putuskan untuk ntar aja ketika sampai di Linggo Asri atau Kali Paingan.
Jalur Wiradesa menuju Kajen tidak terlalu padat, sesekali bisa betot gas hingga beberapa saat, suasana pinggiran kota yang monoton sedikit membosankan, namun begitu melewati kota kecamatan Kajen dan sampai di gerbang jalur Linggo Asri, maka disitulah aksi dimulai!.
Di gerbang jalur inilah akhirnya aku tau bahwa lokasi Linggo asri dan Petungkriyono berjarak sangat jauh, sama sekali tidak bisa dikatakan satu tempat, karena dari gerbang jalur tersebut hingga Linggo Asrinya masih berkisar 9 KM nanjak, sedang untuk ke Petungkriyono aku harus turun kembali melewati tempat itu, kemudian balik ke arah kota untuk kemudian nyempal nanjak lagi ke Petungkriyono!. Wew!
Jika kamu termasuk rider yang suka dengan aksi cornering, alias rebahan ditikungan, maka jalur dari gerbang hutan Linggo Asri hingga wanawisata Linggo Asri merupakan syurganya cornering, meski tidak lebar, namun aspal yang mulus, sudut yang smooth, serta teduhnya jalur dengan naungan pohon-pohon gede disepanjang 9 kilo meter itu, cukup seru dan menyenangkan karena jarak nikung kiri dan kanannya cukup pendek, tapi perlu diwaspadai jika salah hitungan, maka tidak ada yang bisa menahanmu meluncur bebas kedalam jurang atang nyangsang di pohon yang berada disisi kiri jalur...you know that feel lah.
Sesampainya di lokasi Linggo Asri, aku segera bertemu dengan kepala bagian pengelolaan / marketing untuk menanyakan banyak hal tentang wahana, fasilitas, dan kemungkinan custom request untuk acara camping weekend akhir bulan maret ini.
Sebenernya aku tidak membawa data valid tentang siapa CP yang sudah dihubungi sebelumnya oleh Bu Eko (Bagian Urusan Event Kordinator-nya CPR) sehingga begitu tahu bahwa Linggo Asri dan Kali Paingan adalah beda management maka aku harus memastikan ke Bu Eko tentang siapa yang sudah dihubungi.
Beruntungnya pulsa gak cukup lagi, dan sinyal internet untuk beli pulsa online ngajak berantem juga, meski terbuang waktu beberapa lama, namun akhirnya aku dapet konfirmasi bahwa pihak yang sudah ada kontak adalah Kali Paingan.
Segeralah aku pamit dan meluncur kebawah, menuju kali Paingan yang berjarak sekitar 10 menit, disana terlihat persis seperti yang ada di internet, baik gerbangnya, sungainya, atau loket tiketnya, aku konfirmasi ke penjaga loket untuk bertemu dengan management.
Kali Paingan merupakan sebuah tempat bersantai dipinggir kali, dengan pemandangan bukit hijau di kedua sisinya, olah raga air tentu menjadi menu utamanya baik rafting, maupun river tubing, dan memang kali paingan merupakan operator dari kedua olah raga air tersebut, tetapi karena statusnya yang swadaya, dan masih dalam proses pengembangan, maka jumlah alat untuk rafting dan water tubing itupun masih terbatas.
Terdapat beberapa ukuran gazebo yang terbuat dari kombinasi kayu dan bambu, aula luas diatas kolam, homestay berbagai ukuran, dan juga kios makanan, kolam ikan koi?, dan terdapat juga sebuah ruang shielded yang bertuliskan petilasan sunan kalijogo, entah seperti apa didalamnya aku tidak sempat melihat.
Konsep awal dari Kali Paingan adalah sebuah taman baca, atau semacam sekolah alam mandiri, yang oleh MDH (Masyarakat Desa Hutan) ditargetkan bisa menjadi lembaga pendidikan persetaraan formal dengan meluluskan 100 orang sarjana di setiap desanya, itu kenapa terdapat beberapa ruang terbuka yang mirip kelas lesehan dengan whiteboard dan audio tool.
Banyak hal yang aku obroling dengan bapak Tirtonadi sebagai kepala pengelola Kali Paingan, tidak hanya tentang itinerary yang direquest oleh CPR, tetapi juga tentang visi, misi, dan ide pengembangan Kali Paingan kedepannya, juga terselip sedikit curhatan disana. Etdah..
Intinya Kali Paingan kesulitan untuk memenuhi request itinerary CPR karena kendala kesiapan jumlah alat yang berupa perahu donat untuk river tubing, option yang mereka akan ambil adalah kerjasama dengan operator river tubing laen di Petungkriyono.. lah!?
Akupun pamit untuk menuju ke Petungkriyono, tetapi aku sempatin untuk mlipir ke buper Linggo Asri untuk sekedar bertanya kemungkinan bisanya mereka handle request dari CPR, tetapi orang yang berkompeten sedang tidak ada, dan hanya meninggalkan nomor kontak.
Hujan mulai turun dan dengan tergesa, aku balik turun ke kecamatan Kajen lalu kearah karanganyar menuju Doro, disitu aku kembali refill BBM, artinya dari brebes, pekalongan, lalu PP Kali Paingan, menghabiskan 20ribu BBM.
Untuk menuju Petungkriyono, dari arah Karanganyar melewati jalur kampung yang sempet bikin aku ragu, karena terlihat seperti jalur yang tidak menuju ke sebuah tempat wisata.
Yang menarik dari jalur Doro, adalah disepanjang jalan akan tercium aroma durian, karena memang tempat tersebut menjadi sentra penghasil duriannya Pekalongan, hmmm yummy
Setidaknya ada tiga kali aku harus berhenti untuk bertanya tentang arah kepada penduduk setempat, karena memang ada beberapa pertigaan, percabangan, yang sama dan tidak ada papan nama yang menyebutkan Petungkriyono, hehehe itu gunanya GPS (Gunakan Penduduk Setempat).
Setelah keluar dari kampung terakhir, maka aku temui jalur hutan yang benar-benar liar, tidak ada pertanian, tidak ada perkebunan, semua masih nature dengan aksesoris longsor dan pohon raksasanya, gelap dan gerimis, berkelok dan menanjak, sepi dan menegangkan.
Disepanjang jalur itu aku merasa seperti tersesat ke antah berantah, bagaimana tidak, estimasi berapa lama lagi akan sampai tujuan saja aku belum tahu, kearah mana lagi hingga sampai tempat tujuan juga tidak aku tahu, sedang gerimis sudah mulai berisik, jalanan rusak sudah mulai sering aku temui, disisi kiri tebing tinggi dengan rimbun semak dan julang tinggi pohon purbanya, sedang disisi kanan, sungai dan jurang terlihat mengerikan.
Dengan kelokan-kelokan tanjakan ekstrim perjalanan menuju Petungkriyono menjadi makin sempurna eksotisnya manakala aku temui beberapa kali adanya air terjun di pinggir jalan yang cukup deras dan tinggi, nuansa mistis menjadi begitu kental, manakala disebuah jembatan terlihat dua tiang gapura dengan arsitektur ukiran batu dari jaman kerajaan kuno sedang disitu sangat sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan kampung.
Setelah aku temui air terjun yang kesekian kalinya, aku dapati jalur sudah keluar dari hutan, dan berganti dengan sengkedan sawah yang menciptakan pemandangan meanarik dari ketinggian, yup aku temui sebuah kampung yang terpisah jauh dengan peradaban kota Pekalongan.
Ditengah jalur bukit persawahan itu hujan tiba-tiba lebat, dan pastinya aku tidak menemukan gubug, rumah, atau pohon gede untuk sekedar berteduh memakai raincoat, yang akhirnya ketika aku temui sebuah gardu siskamling badan aku sudah kuyub.
Disitu aku coba hubungi temen-temen biker Pekalongan untuk sekedar cari tahu seberapa lama lagi aku akan mencapai Petungkriyono, dan ternyata ada diantara mereka yang berniat untuk menyusul naek, tetapi segera aku larang mengingat jalur, waktu, dan kondisi cuaca yang tidak safety, maka aku janjukan untuk kodar di Pekalongan setelah turun dari Petungkriyono.
Dengan raincoat berlapis, akupun lanjut nanjak menuju petungkriyono yang menurut bayanganku berupa wahana wisata yang disana terdapat kantor pengelolanya, namun kenyataannya aku melihat sebuah papan petunjuk dengan tulisan CAMP PPGP Adventure, aku ikuti petunjuk arah tersebut memasuki area perkampungan lalu berakhir pada sebuah rumah tinggal.
Kabut sudah begitu tebal dan gelap, jarak pandang tak lebih dari 7 meter sedang hujanpun masih lebat, dan ketika aku bertanya tentang keberadaan Bapak Purwo selaku manager dari PPGP Adventure, ternyata tidak sedang berada di camp, dan baru senin kembali ke camp... wew bingung jadinya antara terus menuju lokasi camping ground curug bajing yang masih sekitar 3 kilo meter atau balik turun ke Pekalongan.
Waktu sudah sore dan hitungan durasi perjalanan balik pulang sudah dipastikan malam sampai di Cirebon, sedang arah, kondisi jalur, kondisi cuaca, kabut yang makin pekatpun tidak bisa ditebak jika diteruskan ke Curug Bajing, sehingga akhirnya aku putuskan untuk balik turun, setidaknya aku sudah merecord kondisi jalur hingga tiga kilometer sebelum curug bajing yang rencananya menjadi destinasi terakhir nantinya.
Hujan masih bertahan, dan perjalanan turun menjadi tantangan baru yang lebih berbahaya, karena kabut masih menghalangi pandangan dan yang paling mengerikan adalah kondisi ban belakang motorku yang sudah sehalus kulit Raisa.
Kondisi itulah yang akhirnya aku maklumi ketika terjadi moment nyungsep hingga dua kali, yup teknik pengereman yang selama ini jadi andalan ternyata tidak lagi mampu menaklukkan curamnya tikungan di jalur hutan Petungkriyono, jadi ketika motor sudah tergelincir liar, aku berusaha menahannya hingga keluar dari aspal, saat itulah kemudian aku banting motor agar berhenti.
Nyungsep yang kedua pun terjadi dengan kondisi yang kurang lebih sama, ketika di jalur turun yang ekstrim aku dikejutkan oleh adanya tikungan yang tajam, dikondisi itu untuk resiko membelokkan roda depan sambil rem belakang merupakan pilihan bunuh diri yang tidak berani aku spekulasikan, karena yang terjadi secara teknis adalah terbanting liar di separuh aspal jalan, sehingga pilihan “aman” satu-satunya adalah membiarkannya tetap lurus dengan kedua roda slip tergelincir, lalu jatuhkan motor begitu sudah keluar dari aspal, karena jatuhpun juga masih di rumput.
Dengan dua kali nyungsep tersebut, aku sedikit parno sehingga kehati-hatian menjadi ekstra yang tentu memperlambat laju motor dan akan semakin gelap sesampainya di Pekalongan.
Begitu sampai di Jalur Doro-Kedungwuni, teman-teman biker Pekalongan sudah menunggu dipinggir jalan, walhasil kemudian kita ngobrol dan ngopi bareng hingga sampai waktunya makan malam, sementara hujan masih bertahan diluar sana.
Keakraban dan kekeluargaan ala biker segera terbentuk selama kopidarat, sharing dan curcol menjadi bumbu sedap yang semakin mendekatkan satu sama lain, dan ketika malam semakin gelap, sedang hujan tak unjung reda, maka disaat itulah aku harus pamit untuk kembali berbaur dengan kerasnya jalur pantura.
Ternyata dari kedungwuni hingga Wiradesa atau jalur pantura masih berjarak 19 KM, dan dengan dikawal oleh bro Wawan perjalanan menembus hujan sepanajng 19 km itu menjadi smoot dan lancar, begitu sampai di pertigaan Wiradesa, akupun pamit dan harus sendirian menaklukkan pantura.
Dengan bayangan kondisi ban belakang yang licin dan speed maksimum yang tidak sepenuhnya didapet, akhirnya dengan selamat akupun sampai di Cirebon setelah 3.5 jam bergumul dengan kerasnya pantura dimalam hari.
Dan petualangan hari itupun berakhir dengan sebuah pelukan hangat dan senyum malaikat.
Cireboner.com