






























Selametan di puncak Slamet
Bolanger Notes » Selametan di puncak Slamet
Catatan perjalanan kali ini terbilang unik, setidaknya versi aku sendiri he he he itulah kenapa kemudian aku membaginya disini.
Terlaksananya trip ke Gunung tertinggi di Jawa Tengah ini termasuk dadakan, sebagaimana halnya tahu bulat yang lagi greget dengan kosakatanya, begitu pula dengan itinerary perjalanan ke gunung slamet ini.
Semula client cireboner di trip ini adalah dua orang expat yang berdomisili di Cirebon dan Semarang, akan tetapi karena satu dan lain hal maka expat yang dari Semarang membatalkan rencananya join di trip ini, dengan begitu hanya satu orang yang menjadi tanggung jawab ngeguide dan memfasilitasi kebutuhan pendakian.
Biar ada temen ngobrol dan sharing pengalaman makin seru, maka aku share rencana trip ini,dan bersyukur dari sekian yang awalnya berminat ternyata menyisakan satu orang senior dari komunitas pendaki gunung yang bersemangat untuk gabung.
Karena pengennya start trekking dari basecamp Bambangan adalah Jum’at pagi hari, maka pilihan waktu berangkat dari Cirebon adalah kamis malam atau jum’at dinihari, dan jum’at dinihari lah yang kemudian kami sepakati, start dari Cirebon, tepatnya jam 03:00 teng! Dengan estimasi perjalanan 4 jam, maka jam 7:30 diharapkan kita sudah memulai langkah pertama pendakian gunung Slamet.
Rehat Sunrise
Dan meluncurlah kami dari Cirebon dengan kantuk yang sangat, beruntung pak sopir cukup pro dengan jam yang beresiko tersebut, nah ketika kedua orang di jok belakang udah pada ngiler, aku justru harus berjuang untuk tidak terlelap demi duduk dimuka, menemani pak supir yang sedang bekerja, tok tik tak tik tok tik tak tik tok….agar pak supir tidak suntuk dan berujung ngantuk.
Dalam perjalanan kami melihat bayangan megah gunung slamet di sisi kiri jauh, dan gurat jingga pertanda mentari sebentar lagi muncul, memaksa kami untuk berhenti dan mencoba mengabadikan indahnya sunrise dari balik gunung Slamet yang jauh disana.
Beberapa jepretan dari pinggir sungai Ketanggungan saat itu dirasa cukup, dan perjalanan kemudian kami lanjutkan.
Dengan mengandalkan jipees, kami sampai di basecamp Bambangan sekitar pukul 7:00 30 menit lebih cepat dari perkiraan, dan betapa senangnya karena pagi itu sangat cerah, puncak Slamet begitu jelas terlihat terjal dan gersangnya, sangat antusias, terlebih ketika ternyata dari titik basecamp Bambangan sudah bisa melihat dua gunung kembar dikejauhan sana, lembahan bukit dan hamparan awan bahkan samar-samar terlihat disana.
Oh iya kalau mau tracing jalur menuju basecamp Bambangan kamu sudah bisa via google map, disana bahkan kamu bisa merunut jalanan yang berujung di gerbang pendakian gunung Slamet, tepat disebelah gedung basecamp, jadi gak perlu was-was berlebih jika ternyata nyasar.
Sampai di basecamp hal pertama yang menjadi kerepotan adalah tidak adanya lahan parker bagi kendaraan kami yang masuk kategori jumbo, karena bangunan basecamp yang sedang dalam proses renovasi, padahal kami udah pede bahwa parker akan aman dan easy, tetapi pak supir kemudian harus kompromi untuk parker sedikit agak jauh dibawah sana, it’s ok and no problem.
Hal kedua yang menjadikan awal perjalanan kami ke Gunung Slamet menjadi ngeri-ngeri sedap adalah ketika kedatangan kami disambut oleh seekor anjing pelacak yang dibawa oleh sepasukan polisi lengkap dengan senjata dan keseriusan ekpresi, ada apakah gerangan?
Yup ternyata mereka sedang dalam misi serius memburu segerombolan perampok yang pada dinihari sebelumnya terpergok polisi sedang menyatroni sebuah rumah, terjadilah aksi kejar-kejaran dan karena mungkin siperampok tidak menguasai wilayah, maka mereka mentok di desa Bambangan, tak jauh dari basecamp.
Karena merasa terpojok, maka para perampok tersebut lari meninggalkan mobilnya, dan mereka lari menuju jalur pendakian gunung Slamet!!! Itulah kenapa kemudian pagi itu ketegangan menjadi dominan disejuknya kaki Slamet.
Pertanyaan kedua yang kemudian muncul adalah, masih boleh kah kami mendaki manakala operasi pengejaran perampok sedang berlangsung, amankah?
Akan berasa mengecewakan jika kemudian karena adanya perampok yang belum tertangkap tersebut menjadikan kami harus balik kucing ke Cirebon, namun ternyata kami masih boleh lanjut.
Dengan final preparation check terlebih dulu, sarapan alakadarnya di warung depan basecamp, -registrasi simaksi yang murahnya pake banget, cuman 5 ribu rupiah saja, maka kami kemudia photo-photo dulu di gerbang pendakian Bambangan, untuk kemudian trekking menuju area perkebunan.
Oh iya ternyata sebelum kami memulai trekking, ternyata sudah ada dua rombongan yang mendahuluinya, yang pertama adalah dua orang pendaki dari Tangerang, dan yang kedua adalah 5 orang pendaki dari Jakarta.
Terhitung tepat jam 8:10 menit kami memulai berjalan di area perkebunan sayur warga, dari referensi yang kami baca di internet, durasi normal dari basecamp bambangan menuju pos 1 adalah 60 sampai 120 menit, dengan area terbuka dan landai.
Sempet sedikit bingung manakala tidak ada satupun petunjuk arah menuju jalur pendakian di area perkebunan tersebut, sehingga yang kamu jadikan patokan adalah arah menuju gunungnya.
Dan benar, kebingungan itu tidak kami sendiri yang mengalami, karena keudian kami bertemu dengan rombongan Jakarta yang sedang galau menemui percabangan, lalu dengan mengandalkan insting kami mengambil alih didepan dengan diikuti rombongan tersebut, mereka masih muda tetapi sudah terlihat capek hihihi.
Beberapa menit kemudian kami menjumpai sebuah gubug yang berada di pintu rimba, yaitu sebuah area perbatasan antara hutan dan lahan pertanian, dimana kemudian pohon pinus mulai terlihat semakin rapat, aku berhenti dan istirahat disitu, jarak 10 menit dengan kedua partner dibelakan cukup untuk menikmati sejuk dan teduh yang kemudian menjadi sangat aku rindukan karena mentari yang beranjak terik.
5 menit kemudian kami lanjut untuk mencapai pos 1 yang bernama pos Gembirung, namun sebelumnya kami harus menjumpai pos bayangan terlebih dahulu yang disana terdapat banyak gubug yang pada event tertentu akan menjadi warung dimana pendaki bisa menikmati gorengan, kopi dan masakan khas warung.
Dari kejauhan terdengar sayup suara obrolan, yup kami kemudian menjumpai teman di jalur pos gembirung ini, dan benar suara tersebut berasal dari rombongan pertama dua orang pendaki asal Tangerang, wew langkah mereka nyaris tersusul.
Dan di pos Gembirung itulah kemudian kami disambut dengan kalimat khas para perempuan yang menyemangati kami langkah kami,
“ pos satu mas, ayo semangka semangkaaaa…semangat kakaaaa “
Yup semangka yang dimaksu si ibu-ibu warung tersebut tidak hanya semangat kakaaaa, tetapi juga menawarkan kesegaran dan kenikmatan basahya buah semangka sebenarnya yang teriris rapi dengan warna menggoda, berjejer pada sebuah piring…. Krenyesss maknyesss !
Dari pos Gembirung ini kita sudah bisa merasakan ketetinggian dengan view awan yang berada dikejauhan bawah sana, vie dua gunung kembar sindoro – sumbing pun juga makin terlihat eksotis, sangat jepretable.
Ada sebuah pondokan yang lumayan luas, aman dan nyaman dengan kursi-kursi panjang berjejer didalamnya, lengkap dengan sekitar lima lapak warung berada di sekitarnya, yup saat itu hanya 2 warung yang menyemangati kami dengan semangkanya…
Setidaknya hingga pos 1 Gembirung, kami sudah menemui tiga point lokasi lapak warung, dimana kita bisa menemukan layanan cemilan, air, bahkan makanan berat, atau sekedar berteduh jika darurat hujan tiba-tiba mengguyur.
Di pos ini aku benar-benar terpisah dengan kang Aris karena disatu sisi si expat mulai terburu-buru sedang sisi yang lain kang Aris terlihat capek dan ngantuk, maka kami sepakat untuk bertemu di camp pos 7 nanti, aku serahkan flysheet untuk antisipasi hujan, dan juga aku “titipin” ke rombongan Tangerang yang bersamanya.
Berdua kemudian aku dan si Expat meninggalkan pos 1 dengan semangkanya, menuju pos selanjutnya dengan sepi dan nyaris tanpa obrolan apapun, hanya suara nafas kami yang bersahutan, perlahan tapi pasti setapak demi setapak kami melangkah, dan berangsur si expat tertinggal lumayan jauh dibawah sana.
Sesampainya di pos 2, aku rebahan sambil menunggu si expat nongol 5 menit kemudian, di pos yang memiliki luas sepenampungan 5-7 tenda itu juga terdapat dua lapak warung kosong yang terawat, dimana hal itu menandakan bahwa aktivitas jualan di pos 2 masih ada, mungkin tidak hari ini, tapi weekend besok.
Sebungkus coklat padat menjadi teman ngobrol saat itu, sebotol minum 600ml air terlihat masih separuhnya dan sepertinya akan terus bertahan hingga pos 7 nanti, jika melihat bahwa selera haus kami lebih dimanjakan dengan segarnya mentimun andalan.
Tidak sampai 10 menit kemudian kami sudah kembali menapaki jalur menuju pos 3, kami merencanakan untuk istirahat makan siang disana, tentunya dengan harapan semoga kang Aris tidak terlalu lama bisa menyusul kami, mengingat logistic sebagian ada padanya.
Kali ini jarak aku dan si expat lumayan jauh, karena bahkan ketika aku sampai di pos 3, aku masih sempet terlelap 10 menit hingga si expat muncul, aku jadi heran kenapa si expat tidak segesit biasanya, padahal kalau dari beban yang dia bawa tak lebih dari 5kg, dan jalur Bambangan itupun tidak seberat ketika trekking hujan, dan licin di Linggasana Ciremai beberapa waktu sebelumnya, meski tidak sampai mengeluh tetapi aku sudah paham bahwa saatnya aku bersamanya menuju pos selanjutnya.
Di Pos 3 ini agak sedikit terbuka dan cukup untuk mendirikan 3 – 4 tenda dome, ditengahnya terdapat lapak warung yang kokoh dan beratap plastic, sangat membantu jika darurat hujan dan panas terik.
Aku bongkar keril untuk menemukan makan siang kami, yup aku temukan roti, coklat, snickers, dan nata decoco yang secara porsi cukup untuk perut kami berdua, yup makan siang yang simple dan cukup bagi kami berdua.
Demi melihat si expat yang kelelahan dan beberapa kali ber “aigoo” sambil memegang pinggang, maka aku putuskan untuk rehat maksimal dengan terlelap tidur, aku silahkan dia tidur selelap yang dia bisa selama 40 atau 60 menit kedepan, dimana waktu itu juga aku manfaatkan untuk memohon maaf dan berdoa pada tuhan.
Pada saat kami beranjak meninggalkan pos 3, dua Pendaki Tangerang muncul, tidak terlihat kang Aris bersama mereka, gubrag!, artinya memang dia memperpanjang rehatnya atau bahkan tidak bisa mengimbangi kedua Tangerang tersebut, khawatir mulai ada, tetapi senioritas, jam terbang, dan posisi kang Aris yang aktif di PotSAR wilayah 3 Cirebon, cukup bisa diandalkan dan bertanggung jawab untuk kondisi darurat, oleh karenanya kami berdua lanjut meninggalkan pos 3 menuju pos selanjutnya tanpa galau berlebih.
Jika pos Samaranthu dikenal dengan aura mistis dan angkernya, maka secara jujur aku bisa bilang, “ yup itu sangat tepat, karena pada saat kami sampai di pos 4 tersebut, tiba-tiba kabut dating menyelimuti area shelter, sejuknya tidak biasa, dan pohon gedenya baik yang roboh maupun yang masih berdiri dengan ngerinya menyempurnakan nuansa mistisnya, sangat mrindingable tetapi juga sangat jepretable, terlebih jika kamu adalah potogreper.
Di pos 4 ini tidak ada area untuk ngecamp, dan memang sebaiknya tidak bermalam di pos samaranthu ini.
Beberapa menit berada di pos 4 sudah cukup, dan ketika kami beranjak melanjutkan langkah, gerimis pun mulai hadir dengan sangat lembut, kami mengabaikannya karena kami piker sebentar lagi akan sampai pos 5 dan bisa sepuasnya berteduh disana.
Tetapi perkiraan kami salah, karena justru kemudian secara tiba-tiba hujan deras mengguyur kami tanpa ampun, aku merasa sudah kepalang basah sehingga untuk sekedar berhenti dan memakai raincoat pun sudah enggan, sedang si expat masih sempet berhenti dan memakainya.
Kuyub memang setibanya kami di pos 5, pondokan gelap dan pengap yang berada disana kosong tak berpenghuni, sehingga kami bisa leluasa berteduh menunggu hujan reda.
Pos 5 menjadi tempat favorit untuk mendirikan tenda dan bermalam, karena selain adanya mata air tak jauh dari jalur, ada pondokan untuk evakuasi, juga ada lapak warung dan shelternya cukup menampung puluhan tenda.
Oleh karenanya maka tak heran jika pos 5 menjadi pos paling kotor dan bersampah, sangat disayangkan memang jika ternyata lebih dominan pendaki yang hanya bisa nyampah dan tidak peduli, disbanding dengan pendaki yang bertanggung jawab dan peduli, setidaknya jangan menambah sampah jika tidak mau membersihkannya.
Dengan kondisi camp shelter yang super kotor dan berpotensi penyakit itulah kemudian kami lanjut menuju pos 7 yang dicatat sebagai camp shelter terakhir yang diperbolehkan.
Hujan kembali mengguyur setelah beberapa menit melangkah, kali ini angina berasa lebih kencang menerpa kami, bahkan beberapa kali badan aku terhempas dan terpeleset ketika posisi badan rapuh dan angina begitu kencang menghempaskannya, yup hujan badai saat itu membuat perjuangan kami mencapai pos 7 semakin berat.
Pos 6 kami lewati begitu saja, karena memang tidak ada apapun yang bisa membantu kami menghidari hujan dan badai.
Jalur terowongan tanah yang sempit dan panjang cukup mengerikan ketika ditambah dengan derasnya arus air dari arah yang berlawanan, sesekali aku harus merelakan wajah terpapar derasnya arus manakala tanjakan memaksa lutut beradu dengan perut, seru dan sangat beresiko.
Bisa dibayangkan betapa lega dan gembiranya kami begitu menjumpai pondokan yang berarti kami tiba di pos 7, dimana perjuangan kami harus berakhir dengan pencapaian selamat sampai camp shelter dimana kemudian kami tinggal membangun tenda, ganti pakaian, makan sekenyangnya lalu zzzzzzz.
Waktu yang terbatas sebelum hujan kembali turun kami manfaatkan untuk membangun tenda terlebih dulu, karena ternyata pondokan yang sedemikian luasnya sudah terisi oleh rombongan pendaki yang tiba disitu sejak sehari sebelumnya, entah berapa isinya, tetapi pintu sengaja ditutup dan sahutan dari dalam ketika aku mencoba membukanya adalah “ ada orangnya… “ wew.
Terlihat ada dua tenda berdiri di sisi atas pondokan tersebut, bisa dipastikan mereka adalah rombongan yang beda dengan yang berada di dalam, artinya ternyata yang saat itu berada di pos 7 gunung Slamet via Bambangan hanyalah tiga rombongan kecil saja.
Dome sudah kami huni dan pakaianpun sudah berganti, hujan kembali turun dengan derasnya meski kini tak lagi bersama angin kencangnya, kondisi drastic berangsur gelap, aku nyalain kompor dan bersiap masak air untuk dua cangkir coklat hangat, juga serealnya… yup malam itu kami dinner hanya dengan sepotong roti, sebutir telor rebus, segelas sereal, secuil coklat batangan, dan segelas coklat hangat!.
Setelahnya kami mencoba merajut mimpi di tidur kami yang terselimuti dingin, dan gagal karena memang kami merasa terlalu capek seluruh badan, sehingga tidurpun tidak berkualitas maksimal, padahal rencananya kami akan bangun jam 3 dan summit attack di pagi buta itu.
Alarm dari android mampu mambangunkanku jam 3 tepat, namun itu belum cukup untuk membangun semangat agar beranjak persiapan summit, tetapi cukup untuk mematikan alarm dan kembali Tarik sleeping bag serapat mungkin.
Baru ketika terdengar suara langkah kaki dari tetangga sebelah, kami merasa harus bangkit dan berkompromi dengan dinginnya suhu pagi, agar secepatnya kami sampai di sunrise spot puncak tertinggi jawa tengah tersebut.
Trek menuju pos 9 sebagai batas vegetasi cukup bersahabat dengan durasi tak lebih dari 30 menit kami berhasil mencapai pos 9 dengan lancer, disitu kami rehat beberapa lama karena ternyata gurat jingga di langit sudah terlihat, maka si expat mencoba kemampuan lensanya dengan banyak settingan try and error, sehingga aku berinisiatip untuk lebih dulu menapaki terjalnya bebatuan puncak Slamet.
Di jalur terakhir ini memang sangat berbahaya jika kamu melakukan kesalahan dalam menapaki terjalnya, terlebih jika salah berpijak, maka setidaknya kakimu akan tergelincir atau batu itu akan lepas menggelinding liar kebawah dan mengancam siapapun dibelakang kamu.
Itu kenapa aku menjaga jarak pantau dengan si expat lumayan jauh, agar supaya ketika ada batu yang terlepas dari pijakanku, masih ada waktu untuk memperingatkan dan menyuruhnya menghindar.
Sepuluh menit mendaki bebatuan labil aku sempatkan rehat sebentar di sebuah batu yang solid untuk sekedar mengambil gambar gurat jingga yang terlihat semakin jelas diujung sana, aku lihat si expat masih sibuk dengan kameranya… “ wooooy ayoo naik… diatas viewnya lebih bagus!!! “
“ Iya sebentar, tungguuuu “
Demi melihat aku sudah lumayan jauh diatas, maka bergegas si expat beranjak naik.
Ada sedikitnya tiga kali aku berhenti dan memandang lepas hamparan awan dibawah sana, sungguh lukisan alam yang sangat mengagumkan, perlahan tapi pasti aku kuatkan langkah mendaki hingga kemudian batuan cadas jelas terlihat dipuncak gunung Slamet.
Aku telah sampai puncak, sedang sesekali si expat terlihat jauuh dibawah sana, aku coba jangkau dengan teriakanku.. wooooy!!! Lalu dia menjawabnya “wooooooy!!! “ yup artinya ketika terjadi emergency dia masih bisa berteriak minta tolong, karena jarak aku dan dia masih di radius jangkauan teriakannya.
Sudah ada serombongan pendaki ketika kami sampai dipuncaknya, dan kemudian kami berbaur untuk sama-sama mendapatkan angle terbaik saat photo dengan latar belakang awan yang terhampar dikejauhan dan sunrise yang muncul dari balik gunung kembar.
Angin bertiup tidak sekencang malam sebelumnya, karena justru berasa sepoi dan bersahabat, itu pula yang akhirnya memunculkan ide si expat untuk lanjut mengambil gambar mendekati kawah.
Puncak Slamet memang berada jauh dari kawah, dan untuk mencapainya kamu harus menuruni lembahan, kemudian kembali naik menuju tepian dinding kaldera, lebih dari 10 menit untuk mencapainya, itu kenapa jarang pendaki yang mau mendekati kawah begitu sampai di puncaknya.
Setelah dirasa cukup apa yang kami dapatkan di puncak Slamet, maka sekitar jam 8:00 kami turun kembali ke post 7 dimana kemudian kami berencana untuk sarapan, bongkar tenda dan turun ke basecamp, lalu cusssss balik ke Cirebon.
Pada perjalanan turun dari puncak, kami sempat disamperin oleh elang jawa yang terlihat gede dan gagah melayang diatas sana.
Dan begitu kami sampai di pos 9, kami liat kabut sudah beranjak naik menyelimuti puncak, artinya siapapun yang sedang menuju kesana, ataupun yang sedang berada disana tentu hanya putih belaka yang mereka lihat, bukan sunrise dan juga bukan view lautan awan, aku jadi paham kenapa di Gunung Slamet pendaki tidak diperkenankan berada di puncak lebih dari jam 10.
Kami berdua adalah group pertama penghuni post 7 yang sampai di camp, dengan tanpa menyiakan waktu, aku segera persiapkan sarapan, dimana menu masih sama dengan sereal, roti, coklat, madu, dan telor rebus, dilengkapi dengan nata decoco yang seger dipagi dingin…hmmm nikmat tuhan manakah yang engkau dustakan.
Bongkar tenda dan packing-packing kemudian menjadi next task di pagi itu, tapi baru setengahnya keril terisi, si expat udah keburu pengen turun ajah… huft dan benar doi pamitan untuk jalan lebih dulu dan menekankan bahwa aku harus cepat nyusul kemudian ketika packing udah kelar.
Bergegas menapak turun aku coba kejar si expat, dengan target kesusul sebelum sampai di pos 5 dimana kang Aris menunggu kami untuk kemudian bareng turun, jalur m asih basah sehingga perlu extra waspada karena bisa tergelincir kapan saja dikondisi jalur seperti itu.
Si expat terlihat sudah duduk melepas penat sambal mijitin betisnya di teras pondokan pos 5, ketika aku sampai, segera aku hampiri kang Aris yang ternyata sudah mulai packing mempersiapkan diri, darinya aku tahu bahwa kendala yang menghambatnya sampai puncak adalah karena sakit pada kakinya.
Bertiga kemudian kami beriringan menuruni gunung yang masih belum dikelola sebagai taman nasional tersebut, di pos 3 kami istirahat lumayan lama karena selain godaan menu warungnya, juga terjebak di obrolan seru dengan para pendaki yang baru naik.
Begitu banyak pendaki yang naek pada hari itu, dan itu membuktikan bahwa pesona gunung slamet masih menjadi target dari para pecandu ketinggian, saling sapa dan menyemangati sudah jadi tradisi antar kami yang sama-sama capek dan kelelahan.
Tersesat hilang!
Sampai di pos 1 kang Aris masih tertinggal jauh diatas sana, kami istirahat dengan maksimal sambal menunggu kang Aris, sebongkah ranum buah semangka, dan selonjoran pisang berkulit mulus menjadi penawar lelah dan haus siang itu, ditambah dengan keramahan para bos warungnya menjadikan istirahat kami menjadi berarti.
Si expat lagi-lagi pamit jalan duluan, dan meninggalkan aku yang kemudian memutuskan untuk menunggu kang Aris tiba, karena jalur jelas dan sudah dekat dengan area perkebunan, maka dengan santai aku hoohin aja.
Sekitar 20 menit kemudian aku dan kang Aris sudah meninggalkan pos 1 menuju basecamp, dank arena kondisi kang Aris yang tidak memungkinkan untuk mengejar si expat, maka kemudian kami terpisah, aku mengejar si expat karena ada satu titik persimpangan y ang aku khawatir si expat akan bingung menentukan arahnya.
Aku bergegas dan sesekali berlari, tetapi si expat tak kunjung tersusul, lebih cepat lagi aku kemudian berlari berusaha menyusul, tetapi tetap aja tidak aku temui sosok aki-aki bertopi biru yang familiar sebagai partner aku, hingga kemudian aku sempetin bertanya pada pendaki yang papas an.
“ maaf mbak, didepan tadi ketemu dengan orang korea pake dua trekking pool jalan sendiri ? “
“ gak ada tuh mas, blm ketemu sama yang turun malah “
Gubrag!
“ OK deh, makasih banyak ya mbak…. Semangat! “
“ semangat!”
Jelas sudah kalau si expat tidak melewati jalur yang umum, jalur yang kami pakai saat naik, karena menurut hitungan harusnya dia sudah tersusul, terlebih diperjelas oleh jawaban si mbak strong tadi.
Suspect aku adalah pertigaan yang sebelumnya aku khawatirkan tersebut, sangat mungkin si expat ambil jalur yang kanan, dimana jalur tersebut lebih jauh karena mlipirnya lumayan, biarpun berujung sama, tetapi ada was-was juga, dan masih ada kang Aris dibelakang yang semoga akan ketemu dengan si expat manakala si expat memutuskan balik kembali ke persimpangan tersebut, dan aku putuskan lanjut untuk mencapai ujung pertemuan dan dua jalur yang beda itu, karena untuk kembali balik arah, sudah terlalu jauh, sedang staminaku sudah boros gara-gara berlari tadi.
Melewati perkebunan dan kemudian sampai di basecamp, tetapi si expat belum juga nongol, udah 30 menit aku menunggu, waswas semakin meninggi, dan kemudian aku putuskan untuk balik menjemputnya, namun begitu sampai melewati gerbang, terlihat si expat nyengir tertatih berjalan gontai, huft…
Bukannya langsung ke basecamp dan selonjoran, malah mlipir ke kios souvenir yang hasilnya aku dipalakin buat ngebayarin yang doi comot darisana… huft… (lagi)
Nah pertannyaan selanjutnya adalah bagaimana kondisi kang Aris ? selisih waktu sudah terlalu lama dari nyasarnya si expat, kemudian balik lagi ke persimpangan, kemudian jalan sampai basecamp, nyasar juga kah?
Pamitan lalu kemudian cuss balik ke Cirebon dengan membawa semangat terbarukan, semakin menyadari betapa kecilnya manusia diantara besarnya bentang alam, betapa tak berdayanya mahluq terhadapa khaliqnya, dan lagi-lagi sebuah pengakuan bahwa tantangan terberat dalam sebuah pendakian atau jelajah alam, adalah menjaga wudhu, dan beribadah tepat waktu.
maafkan hambamu ya tuhan