






























Sungkem Di kaki "Slamet "
Bolanger Notes » Sungkem Di kaki "Slamet "
- tandem
- pancuran telu
- penampakan di curug ceheng
- jalur hijau
- tepian kali serayu
- jalur kebo
- goa selirang
- curug ceheng
- bukit belerang
- mulut goa selirang
- curug ceheng
Penentuan target
Ditentukannya Purwokerto sebagai target touring salah satunya adalah hasil gugling yang menuntun aku pada sebuah blog , meski akhirnya aku tahu bahwa penulis review tersebut asal-asalan tanpa data yang valid, namun cukup membuat perjalanan kami menjadi seru! :MenghiburDiri
Duet Maut
Minggu pagi, ketika semua konfirmasi jelas hanya menyisakan Yamaha Vega dan Bajaj Pulsar, yang bener2 siap maka start engine! Lah kami :xixixixi karena bahkan Scorpio mengkonfirmasi gagal ikut, di menit2 akhir menjelang start :hadeuh!
Kenangan tandem dengan Bajaj Pulsar terulang kembali, setelah sebelumnya di event Tour Green Canyon cukang taneuh duet tersebut diawali,
Polisi bermata jeli
Telat 37 menit dari yang direncanakan, akhirnya aku start dari rumah jam 6.37.
Etdah 27 menit pertama, ternyata motorku sudah diberhentikan oleh seorang Polisi!!!, tepatnya di pasar ikan Gebang yang lumayan padet, feeling aku tepat karena beberapa meter sebelumnya terlihat pak Polisi “terpana” demi melihat AG berada di habitat E .
“ Selamat pagi pak, maaf bisa lihat surat-suratnya? “
“ ya saya maafkan, maksudnya surat apa yah? Saya gak punya surat jeh “
“ Maksudnya SIM dan STNK nya pak” (etdah mulai ketus nih)
“ OOO SIM dan STNK motor….? Ada kok pak,” :sambil mengambil dompet
“ Tapi kenapa bapak mau lihat SIM dan STNK saya? “ :sambil menyerahkan SIM dan STNK
Pak polisi tidak menjawab pertanyaan aku, serius mengeja abjad nama aku
“ tampang saya mencurigakan ya pak ? “
Kali ini pak polisi hanya tersenyum pait, sangat pait malah, sambil menyerahkan kembali SIM dan STNK aku.
“ Maaf sudah mengganggu perjalanan anda, terimakasih “
“ No Problemo pak, saya mah tidak merasa terganggu kok, mungkin minta maafnya ke yang dibelakang saya noh, udah padet gini masih kudu antri nungguin saya yang berhenti… “
Kali ini pak Polisi menjawabnya dengan peluit yang sangat keras, “Priiiiiiiiiiittttt!!!!!! maju, maju !”
But wait a minute!!! Kalimat terakhir dari pak Polisi ambigu banget deh, dimana ada kata “SUDAH MENGGANGGU” berarti emang tujuannya mengganggu doang? :siul
Tapi aku salute dengan pak Polisi tersebut, karena bahkan kita tidak saling kenal sebelumnya, dan tidak pernah ketemu, tetapi doi sampai memberhentikan aku dan bikin macet, HANYA UNTUK MINTA MAAF!!! Apa karena menjelang Ramadhan kali yah? :garuk2dengkul
Offroad
Rute yang kami ambil adalah jalur Ciledug, demi menghindari macetnya pantura, sehingga nuansa perkampungan bisa kami nikmati sambil berkendara, hamparan kebun tebu dan lalu lintas khas para petani, menjadi keasyikan santai tersendiri, sebelum kubangan sepanjang hamper 1.7 KM itu kami temui!.
Yup aku menyebutnya Kubangan daripada jalanan rusak, karena yang ada hanya menyisakan batu berserak dan lobang yang dipenuhi oleh lumpur layaknya pemandian kebo, sehingga dengan sesekali teriak kegirangan dan ngakak, kami saling mentertawakan ketika terjebak di kubangan…. Byurrrr!!! berjibaku dengan lumpur! Dan hasilnya, jam pertama touring kami sudah merubah warna motor dan sepatu menjadi coklat kelumpuran, eh lumpur kecoklatan! Jiaaah jadinya kayak yang petarung aja ntu motor keliatannya.
Pilkades
Memasuki wilayah Prupuk, seperti biasa, kemacetan karena perbaikan jalan menjelang lebaran menjadi pengalaman standard, juga longsor yang terjadi di daerah (aaargh lupa namanya euy) menjadi agenda rutin setiap musim hujan, namun ada satu penyebab lain kemacetan dan melambatnya touring kami setelah memasuki wilayah Jateng tersebut, yaitu serempaknya pelaksanaan pemilihan kepala desa!.
terhitung ada belasan macet yang kami temui oleh karena adanya pesta demokrasi tersebut selama kami mengekplore jalanan di Purwokerto… wew!
GPS error!
Lokasi pertama yang menjadi tujuan kami adalah Curug CIPENDOK, (silahkan gugling untuk review dan photo terbaiknya) point ini menjadi terlewat setelah GPS nya error, yup kami memanfaatkan fasilitas Gunakan Penduduk Setempat untuk track lokasi tujuan, tetapi apesnya kami bertanya pada orang yang salah, sehingga petunjuk arah yang diberikanpun menjadi salah! Kenapa sok tau kalau memang tidak tau? :parahsudah, dari situ kami suggest untuk kedepannya jika memanfaatkan GPS maka harus bertanya dua kali pada orang yang beda untuk kroscek validasinya.
Dari pertigaan Ajibarang yang seharusnya lurus kemudian belok kiri menuju Cipendok, kami diarahkan belok kanan dan terus hingga sampai di Wangon! Dengan terlebih dulu melalui perjuangan panjang menghindari lobang dan macet selama 30 menit!!!
Demi sampai di Terminal Wangon, maka kami sadar bahwa kami telah jauh menyimpang arah!, lalu di salah satu sudutnya kami beristirahat di sebuah warung, tentunya sambil cari info dan melepas haus!.
Dan benar, kami memang sudah terlalu jauh tersesat, namun ketika peta kami buka, masih ada satu titik lokasi lagi yang ternyata jalurnya bisa ditempuh dari Wangon, yaitu Kecamatan Rawalo, dimana tercatat di Blog referensi kami bahwa, di kecamatan tersebut terdapat sebuah Air Terjun yang di deskripsikan sedemikian menarik dengan embel2 sejarah… curug Ceheng namanya, ya udah, jadinya Cipendok di tunda sebagai target akhir ketika pulang nanti.
Tanya jawab dengan pemilik warung yang beralis tipis dan bermakeup tersebut, berubah menjadi obrolan seru, ketika si tante menginformasikan eh bahkan mereferensikan “Kali blablabla” (lupa sebutan belakangnya) sebagai next target, dimana tempat tersebut merupakan rest area di pinggiran kali Serayu, yang undercover storynya sangat terselubung… wew lengkap dengan tariff, referensi nama, dan all about how to – nya, tapi exclude nope, pin, dan account social media, tidak cuman satu, tapi bahkan alternative Kalib lablabla yang laen… :tepokdompetkejidat!
Saat aku merespon obrolan delapanbelasplus itu, terlihat biker tandemku selalu mengelus2 dada sambil beristighfar… :xixixixi
Curug Cipeusing dan sebuah penampakan!
Lanjut menuju Kecamatan Rawalo, ditempuh tak lebih dari 30 menit karena speed mode On dengan kondisi jalur yang lumayan rata dan tanpa lobang, namun begitu sampai di Rawalo, tidak satupun orang pribumi Rawalo yang tahu keberadaan curug Ceheng, karena terakhir curug itu ternyata ada di sekitaran Baturaden.
Masih optimis, maka target kami alihkan dengan nama desa, Tambak Negara, dan diarahkanlah kami ke desa tersebut, namun seperti sebelumnya, warga desa itupun tidak ada satupun yang pernah tahu ada curug Ceheng di desanya…
Yang kami dapat malah ekspresi heran yang sangat….
“ Yang ada di sini Curug Cipeusing mas, tapi heran kok ada orang Cirebon tau curug peusing yah, padahal orang sini saja jarang yang kesono, bahkan hamper tidak pernah ada orang yang ke curug itu, orang cuman curug local saja kok mas..”
Waduh! :aku mulai elus2 jidat siap di tepokin (lagi)
Positif thinking masih lanjut (atau ngeyel?), sehingga kami menuju ke sebuah kaki bukit dimana menurut info, rumah terakhir dari desa tersebut bisa kami manfaatkan untuk menitipkan motor, sebelum jalan kaki menapaki bukit menuju curug.
Kebetulan ada sesosok cewek setempat yang bisa kami tanyai, tetapi informasi yang kami dapet langsung merontokkan semangat dan optimis yang sebelumnya terjaga rapi, karena ternyata memang benar curug itu tidak terkenal dan pengunjung yang datang pun bukan wisatawan tetapi para pemburu!, untuk mencapainya kami harus melewati bukit, karena posisi curug tepat di balik bukit. Dan durasi waktu yang dibutuhkan bagi warga setempat adalah 45 menit… sekali lagi untuk warga setempat! Jadi setidaknya 2 jam bagi kami untuk pulang dan perginya… :lemes
Namun kekecewaan tersebut, terbayar seketika, karena muncul dari sudut jalan setapak, sesosok anggun dengan selendang sutra yang berkibar mengibaskan pendar pelangi… halah! Setidaknya itu kalimat lebay yang bisa aku tulis, dan gak perlu dibahas lebih lanjut…ok?
Jadi mikir, pantesan bidadari mandinya di sungai tengah hutan, bukannya bath up mewah tengah istana….
Jadi kami putuskan untuk skip dan lanjut ke Baturaden.
Tepian Serayu
Dengan melewati jalur alternative dari desa kaki bukit tersebut, kami kemudian menuju jalur Utama melintasi sebuah hutan pinus, senyap sangat dan hanya suara motor kami yang menjadikan kicau burung tak terdengar jelas.
Pada menit ketujuhbelas, baru kami keluar dari hutan pinus tersebut, dan terbentanglah hamparan sungai yang luas sebagai pandangan pertama, yaitu sungai Serayu.
Kami tidak sempat untuk membuktikan referensi si tante beralis tipis penjaga warung, tentang undercover story pada rest area di tepian kali Serayu yang kami lewati, karena kami tidak punya banyak spare waktu lagi, hanya sempatin mengambil beberapa photo saja :P
Curug Ceheng
Jalur mulai menanjak dan berkelok khas pegunungan, dengan aspal jalan yang kasar dan masih lumayan utuh, sehingga niatan untuk rebahan di setiap tikungan sangat menggoda, terlebih ketika banyak biker2 abg pribumi yang show off dan over act, bikin esmoci ajah, tapi sadar bahwa ban belakang sudah mulus, mampu menahan keinginan itu. Amaan
Sebenernya dengan mengikuti jalur lurus naik maka akan sampai pada Baturaden, tapi beberapa meter menjelang gerbang lokawisata tersebut, terlihat sebuah tulisan “jalur alternative ke pancuran tujuh” ya pastinya kami ambil jalur tersebut, karena kalau jalur alternative yang kami ambil maka kami lebih berkesempatan untuk menikmati kondisi jalur yang masih natural dan adem.
Sekitar 37 menit setelah hamper nyasar kami sampai di gerbang Utama Pancuran Pitu, disitu kami berhenti sejenak untuk melepas lelah dan refill BBM sekaligus confirm Scorpio yang ternyata memilih meluncur ke Guci :xixixi
Dari hasil ngobrol dengan ibu penjual BBM eceran kami dapati clue yang menyatakan bahwa sebelah timur dari situ terdapat sebuah curug dengan nama curug Ceheng!!! Nahlo! (Tepokjidat sambil sobek-sobek kertas hasil print blog)
Sepakat kami menuju lokasi terjauh dulu, yaitu curug Ceheng tersebut yang menurut petunjuk arah masih berkisar 5 km lagi.
Setelah turun naik dan berkelok di ketinggian lokawisata yang hamper 1000 MDPL itu kami melewati gerbang Telaga Sunyi, yang otomatis menjadi taget kedua setelah curug Ceheng.
Memasuki gerbang curug Ceheng, kami disambut ramah dan parkir di dalam area, harga tiket masuk sekaligus parkir Rp.6000, sejak gazebo pertama yang paling deket dengan gerbang loket, sudah terlihat pasangan2 mabuk yang asyik masyuk cuekin tuhan dan merasa bumi adalah warisan buat keduanya.
Sejenak iseng bertanya tentang arti dari Ceheng itu sendiri, dan ternyata tak satupun dari mereka yang tahu apa dan bagaimana sejarahnya, hadeuh! Tapi begitu kami menanyakan tentang sebuah peringatan “dilarang melompat ke curuk!” maka dikisahkanlah peristiwa tewasnya seorang pengunjung yang juga penggemar andrenalin, dimana pada lompatan pertama the jumper tersebut sukses menciptakan keseruan dan kepuasan, tetapi pada lompatan kedua, the jumper tewas dengan kepala pecah dan merubah warna kolam yang jernih menjadi merah!!!
Seperti pada umumnya jalur menuju sebuah curug, undakan yang curam dan banyak, cukup melelahkan, tetapi semua itu terbayar ketika sampai di bawah curuk yang lumayan menderu gemuruhnya.
Jepret sana jepret sini, duduk, merokok, melongo,dan secara privasi disempatkan berkomunikasi dengan tuhan tentang bagaimana tuhan menciptakan alam dengan begitu indah, meski sesekali terusik oleh cekikikan kecil pasangan mesum yang bertebaran di sisi kolam curug :hadeuh!
Telaga Sunyi
Mendung sudah memenuhi langit, saat kami beranjak pergi menuju Telaga Sunyi, namun tiba2 hujan turun dengan lebatnya, dan memaksa kami berteduh di bawah pohon untuk sekedar menyimpan handphone, dompet, dan lain2 ke dry bag alias kresek plastic agar terhindar dari basah.
Dan karena si Bajaj Pulsar tidak mempersiapkan raincoat, maka sebuah kebetulan karena salah satu sensasi yang aku cari dari sebuah tour adalah wet speed, jadi sekali lagi raincoat aku gak terpakai
Jadilah kami wet ride meneruskan perjalanan menuju Telaga Sunyi.
Sesampainya di gerbang telaga, hujan masih sedemikian lebat, sehingga sepakat kami skip dan melewatkannya, sayang memang tapi juga untuk PR motivasi berkunjung lagi kesono saat explore main lokawisata alias Baturaden-nya
Pancuran Pitu
Kembali ke gerbang masuk Pancuran Pitu, kami membeli tiket paket all in one seharga Rp 15.000 /orang, plus Rp. 2000/ motor. Ada option untuk menitipkan motor dan berboncengan saja jika ingin hemat dua ribu, tapi saran aku jangan, karena dua ribu itu terlalu mahal untuk di tuker dengan sensasi mengendara melintasi hutan sepanjang 5 km, dengan aspal rusak, kelokan banyak, tanjakan dan turunan yang curam, apalagi dalam kondisi hujan! Wew…
“ Kok gak pake jas hujan sih mas” tanya tante penjaga loket
“ ya gini ini kalo kebahagiaan masa kecil susah dilupakan “ sahutku
“ ya udah, silahkan masuk, hati hati ya karena jalanan lumayan rusak”
“ tapi ini tiket sudah termasuk asuransi kan? “ tanyaku sebelum mlintir gas
“ iya” sahutnya pendek
Kemudian melajulah kami menyusuri hutan basah, dengan track ajiib terpagari pohon yang menjulang tinggi, lubang bertebaran, dan serangga sore mulai bernyanyi.
Nuansanya sepi, seakan hanya kami yang berada di hutan tersebut, mungkin karena hujan atau mungkin kami masuknya kesorean, tapi yang pasti kombinasi antara hujan dan kondisi jalan terlalu seru untuk di lewatkan, sempet kepikiran seandainya ban bocor atau ada trouble di motor, maka perjuangan untuk balik mencapai bengkel terdekat sangatlah besar!
Disepanjang track terdapat banyak taman dan wahana belajar tentang hutan dan tanaman yang ala hutan, sungai sungai dengan batuan besar yang berongga, bahkan aku sempet menyangkanya sebuah goa, serta beberapa air terjun kecil.
Sampai di parkiran, lalu cek tiket, dan berjalan menapaki undakan 300 meter menuju pancuran pitu, sebelum lokasi pancuran terdapat banyak kios yang menyediakan souvenir khas, dan juga jajanan untuk oleh2.
Selepas itu maka sampai di pancuran dengan sambutan para tukang pijat dan lulur belerang yang ramah dan pantang menyerah!
Pancuran itu ternyata tidak sebesar yang kami bayangkan dari photo, tetapi tetep unik dan menarik dengan warna kuning keemasan dan panas airnya yang beruap, semakin sempurna dengan aksesoris mistis berupa cungkup keramat petilasan Syech Maulana Maghribi yang berada di sebelah pancuran.
Dari bentuk dan relief fisik pancuran tersebut, maka wajar jika para pengunjung viktor akan ber ide untuk mengganti nama Pancuran Pitu menjadi nama yang identik dengan viktornya #eh!
Di lokasi itu juga terdapat kolam2 permanen untuk berendam, bilik pancuran, dan juga kamar2 untuk pijat dan lulur belerang dengan level feature yang berbeda. Wooow
Cukup dengan beberapa kali jepret kamera, merendam kaki, menyelupkan telunjuk kemudian mencicipi rasanya, lalu banyak tanya tentang sejarah dan apa saja yang bisa di lakukan di situ, maka kami teruskan menuju next point yang masih satu area.
Goa Sarabadak
Dari Pancuran Pitu, kami menuruni TEBING BELERANG yang berwarna kuning keemasan dengan uap mengepul di seluruh hamparannya, terlihat sangat licin dan berasa sauna ketika berada di tengahnya, dari tebing belerang, kami terus turun hingga sampai pada sebuah goa yang cukup gelap dan aura mistis yang terasa sangat, yup goa Sarabadak, merupakan sebuah rongga pada tebing yang padanya di aliri air yang bersumber dari Pancuran pitu, dulunya terdapat sebuah pohon besar berada di atasnya, namun sekarang sudah tumbang dan longsor, sehingga yang awalnya berupa rongga goa berlorong panjang, sekarang menjadi rongga ala jembatan tanah, meski begitu nuansa khidmat dan mistis masih sangat terasa, terlebih setelah tahu bahwa goa tersebut adalah petilasan sunan Bonang!
Tebakan aku nama sarabadak mungkin berasal dari sarang badak, jika dilihat dari model goa sebelum longsor, dan yang menjadi pertanyaan adalah kenapa sunan bonang memilih tempat itu sebagai bagian dari ritual spiritualnya?
Goa Selirang
Beranjak tidak jauh dari Goa Srabadak, maka kami dibikin takjub dengan pendar warna keemasan dengan alur air yang membentuk berbagai silangan yang terlihat seperti anyaman, dari sebuah tebing dengan alur tumpul menggantung, goa Selirang!.
Nama selirang dalam bahasa yang aku tahu adalah, bagian dari tundun pisang yang terdiri dari satu atau dua baris pisang, urutannya adalah, satu buah pisang > satu lirang pisang > satu tundun pisang > satu pohon pisang > satu kebun pisang > satu RT Pisang > satu RW pisang > satu desa Pisang > satu kecamatan Pisang > halah!!! Cukup, cukup!.
Nah di identik kan dengan lirang pisang, karena memang bentuk dari tebing itu mirip seperti buah pisang dengan lirang yang digantung, terdapat rongga2 yang menjadi lapisan lirang, dan rongga terbesar dan terdalam itulah yang disebut Goa Selirang, itu menurut aku saja, karena saat itu aku lupa menanyakannya pada om yang menawarkan pijet plus…. (plus lulur belerang)
Kuning bersih, langsat, dengan air jernih, dan satu yang pasti adalah tidak adanya tercium aroma belerang sama sekali sebagaimana layaknya pemandian air panas!. Wew kan?
Bahkan goa selirang itu pun masih berada di tengah tebing, karena kami masih bisa turun lagi ke tebing terbawah (10 meteran) yang sudah berupa aliran sungai dengan komposisi tebing yang kuningnya masih belum mendominasi, sehingga akan semakin wew lah pokoknya…
Pulang
Sekitar jam 17.00 kami menyudahi explore kaki gunung Slamet tersebut.
Dengan masih beriring hujan, kami beranjak pulang, tidak ada alternative jalur lagi selain balik turun menuju Ajibarang, meski dengan jalur yang beda, kemudian naik menuju Prupuk lalu pantura, sepanjang turun kami sempet melihat dan menemukan beberapa petunjuk arah yang diawali dengan kata “ wisata”, baik itu danau, taman, maupun air terjun, artinya masih ada alasan untuk kembali ke Purwokerto, termasuk air terjun andalan Cipendok yang karena keterbatasan waktu harus kami lewati dan kami simpan untuk next tour
Dengan melewati jalur yang sama maka nuansa tidak terlalu berbeda, mungkin warna langit yang sedikit menghibur manakala hujan tak lagi terasa, dan cerita perjalanan yang menjadi seru adalah ketika memasuki jalur alternative cirebon.
Jalan yang mengalami perbaikan selamanya itu, saat ini dalam kondisi buka tutup untuk bergantian dua arah, dengan lebar pas body bis dan tidak lagi bisa disusupi oleh sepeda goes sekalipun, disempurnakan dengan gelap yang mulai menyergap, maka ketika terjadi miskomunikasi antara dua ujung control jalur, yang terjadi adalah dua arah kendaraan bertemu persis di tengah, dengan situasi seperti dua kereta yang berpapasan di rel yang sama. Macet total, perlu effort yg luar biasa lebih dan lama dari petugas untuk menguraikannya.
Demi melihat kemungkinan itu, beruntung kami menemukan tumpukan kerikil di bawah jalan yang setinggi hamper 1 meter, sehingga bisa kami manfaatkannya sebagai jembatan untuk turun ke “Galengan” atau bibir selokan di luar patok pembatas jalan, lalu kemudian terseok melewati material pembangunan jalan dengan sesekali terbentur batuan, sepanjang hamper 700 meter perjuangan itu kami lalui.
Accident !
Berasa lega ketika kami sudah mencapai pantura, setidaknya meski harus berpacu disela-sela raksasa macam bis dan truk, tapi luas jalan masih bisa di selipi kalaupun terjadi macet.
Speed mulai naik, dengan semakin berkurangnya tebaran lubang ketika masuk losari barat, namun ketika di tikungan sebelum jembatan di Losari, kami melihat dari kejauhan serombongan Kawasaki Ninja 250 berkecepatan tinggi meraung membelah jalan, dan ketika 10 meter berpapasan di hadapan kami, tiba2 salah satu Ninja 250 warna hijau melayang terbang ke jalur kami dan terbanting keras! sangat jelas layaknya motoGP! :gemeteran
Kepanikan segera berlangsung ketika yang lain segera memblokir jalan dengan meraung betot gas kuat-kuat, ridernya selamat dan terlihat masih kuat, namun motor pasti parah!
Kami berhenti sejenak, namun karena kondisi segera terkendali dengan rider yang selamat, maka perjalanan kami lanjutkan.
Dan ketika malam belum begitu larut, kami tiba di sarang mimpi